Minggu, 07 Agustus 2016

TEORI – TEORI HUKUM, OLEH: YANA BOJONG-BUNGBULANG



BAB II
PEMBAHASAN
TEORI – TEORI HUKUM

A.    Pengertian Teori dan Teori Hukum
Teori dalam dunia ilmu hukum sudah sangat penting keberadaannya, karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori menurut para ahli menganggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami sesuatu masalah dalam setiap ilmu pengetahuan hukum.
Menurut sarlito wirawan sarwono, teori adalah serangkaian hipotesis atau prposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. pengertian ini pada prinsipnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori, namun tidak berarti pengertian tersebut adalah satu – satunya pengertian tentang teori.
Ada beberapa pakar ilmu pengetahuan memberikan pengertian tentang teori sebagai berikut :
1.      M. Solly. Lubis. Mengemukakan bahwa teori adalah engetahuan ilmiah yang mencangkup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan
2.      Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa teori adalah serangkaian konsep, definisi, dan proporsi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena
3.      Kartini kartono mengatakan bahwa teori adalah satu prinsip umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala yang saling berkaitan
Berdasarkan pengertian para sarjana diatas, masih mengandung subjektivitas, tergantung dari sudut mana memandang substansi teori tersebut. Begitu juga halnya dalam ilmu hukum yang begitu luas dimana hukum hamper mengatur seluruh aspek kehisupan masyarakat. Oleh karena itu dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran teori atau mazhab yang juga cenderung lahir dari segi sudut pandang dari masing – masing sarjananya. Berbagai pertanyaan tentang hakikat hukum misalnya, memunculkan teori para juris yang didasarkan pada aliran pemikiran yang dianut.
Aliran teori pemikiran tersebut, oleh kalangan juris banyak yang menyebutnya dengan teori hukum, diantaranya Satjipto Rahardjo. Yang menjelaskan :
Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekostruksikan kehadiran teori hukum itu secara jelas. Pada saat orang – orang mempelajari hukum positif, ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan – peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya seperti kesahannya, penafsirannya, dan sebagainya
Aliran teori pemikiran dalam ilmu hukum timbul karena adanya perbedaan sudut pandang antara sarjana hukum dalam mengkaji tentang hukum. Ada sarjana mengkaji ilmu hukum itu dari sudut pandang sejarah, sosiologi, filsafat, dan bahkan sari sudut hukum itu sendiri.
Pandangan dari sudut sejarah memandang bahwa hukum yang berlaku sekarang ini berbeda dengan hukum pada waktu yang lampau dan mungkin juga berbeda dengan hukum pada waktu yang akan datang. Pendekatan dari sudut sosiologi mengkaji hukum itu hanyalah sebagai gejala masyarakat.
Dari sudut filsafat, hukum merupakan hasil pemikiran manusia yang senantiasa berkembang sesuai dengan logika akal manusia. Adaun dari segi hukum itu sendiri mencoba mempelajari dari segi hukum terlepas dari unsur – unsur kebudayaan, politik, social, dan ekonomi.
Adapun aliran – aliran (mazhab) teori tentang hukum berdasarkan sarjananya dapat dilihat antara lain seperti :
1.      C. S. T. Kansil, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Mazhab hukum alam
b.      Mazhab sejarah
c.       Teori teokrasi
d.      Teori kedaulatan rakyat
e.       Teori kedaulatan Negara
f.       Teori kedaulatan hukum
2.      Pipin Syarifin, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Ajaran hukum alam
b.      Teori perjanjian masyarakat
c.       Aliran sejarah
d.      Teori kedaulatan Negara
e.       Teori kedaulatan hukum
3.      Soerjono Soekanto, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Mazhab formalistis
b.      Mazhab sejarah dan kebudayaan
c.       Aliran utilitarianisme
d.      Aliran sosiological jurisprudence
e.       Aliran realism hukum
4.      J. B. Daliyo (dkk) aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Mazhab hukum kodrat
b.      Mazhab sejarah
c.       Mazhab imperatif
d.      Mazhab sosiologis
e.       Mazhab fungsional
5.      Marwan Mas, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Aliran hukum alam
b.      Aliran hukum positiveme dan utiliarianisme
c.       Aliran historis
d.      Aliran sosiologis
e.       Aliran antropologis
f.       Aliran realis

6.      Satjipto Rahardjo, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.       Teori – teori yunani dan romawi
b.      Hukum alam
c.       Positiveme dan utiliarianisme
d.      Teori hukum murni
e.       Pendekatan sejarah dan antropologis
f.       Pendekatan – pendekatan sosiologis
g.      Realisme baru

B.     Teori-teori Hukum
Setelah membicarakan pendapat para sarjana tentang aliran – aliran (mazhab) atau teori tentang hukum, berikut ini hanya akan dibahas aliran mazhab yang dikemukakan oleh C. S. T. Kansil dan Satjipto Rahardjo.
1.    Teori- Teori Yunani dan Romawi
Pada abad ke 5 sebelum masehi merupakan masa kemajuan, tingginya tingkat perkembangan social, politik, dan spiritual dari Negara kota di yunani yang memunculkan problem kehidupan politik dan sosial sehingga pada satu abad kemudian yakni abad ke 4 sebelum masehi para filsuf besar memulai insfaf tentang peranan manusiadalam memberntuk hukum seperti :
a.    Socrates menuntut supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia
b.    Plato dan Aristoteles sudah mulai mempertimbangkan manakah aturan yang adil yang harus dituju oleh hukum, walaupun mereka tetap juga mau taat pada tuntutan alam.
Plato banyak menulis buku yaitu :
a.    Politcia (Negara)
b.    Politokos (ahli Negara)
c.    Nomoi (undang-undang)
Aristoteles adalah murid Plato. Mengenai hakikat Negara aristoteles berpendapat bahwa Negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya agar mereka dapat hidup baik dan bahagia, menurutnya hukum dibagi menjadi dua kelompok :
a.    Hukum alam atau hukum kodrat yang mencerminkan aturan alam.
Hukum alam ialah merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah, karena kaitannya dengan aturan alam
b.    Hukum positif yang dibuat manusia
Pembentukan hukum ini selalu harus dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip equity (kesamaan) yang kemudian melahirkan keadilian distributif dan keadilan korektif.
Pada zaman romawi perkembangan ilmu hukum sudah mulai dikembangkan cicerio (106-43SM). Konsep hukum alam ini diartikan sebagai prinsip yang meresapi alam semesta, yaitu akal, yang menjadi dasar dari hukum keadilan. Kemudian cicerio membicarakan hubungan hukum alam dan hukum positif. Hukum positif harus didasarkan pada asas – asas hukum alam, jika tidak demikian halnya dan hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka ia tidak mempunyai kekuatan dalam undang – undang.
Dalam perkembangan berikutnya, gaius membedakan antara ius civile ( yang berlaku khusus untuk suatu Negara tertentu) dengan ius gentium yakni suatu hukum yang diterima semua bangsa sebagai dasar kehidupan bersama yang beradab. Hukum romawi mengalami perkembangan pada kekaisaran Roma Timur atau Byzantium, lalu diwarisi kepada generasi selanjutnya dalam bentuk suatu kodek huku.
Pada tahun 522-534 M seluruh perundangan kekaisaran romawi dikumpulkan dalam suatu Kodeks atas perintah Kaisar Yustinianus. Kodeks itu dinamakan juga Codex luris Romani, atau Codex lustinianus, atau Corpus luris Civilis (CIC). Kemudian kodeks ini diresepsi dalam hukum negara-negara Eropa ada abad ke-15 dan 16. Melalui jalan Romawi kuno menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.
2.      Teori Hukum Alam
 Lahirnya hukum alam pada dasarnya merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice  (keadilan yang mutlak) di samping sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan tersebut. Selama sekitar 2.500 tahun yang lalu, muncul pemikiran tentang hukum alam dalam berbagai bentuknya, sebagai suatu ungkapan untuk mencari hukum ideal yang lebih tinggi dari hukum positif.
 Upaya mencari hukum yang lebih ideal ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ajaran hukum alam telah banyak dipergunakan oleh pelbagai bagian masyarakat dan generasi, untuk mengungkapkan aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam dapat dipergunakan sebagai senjata untuk perkembangan politik dan hukum.
Aliran hukum alam menyebut “hukum itu langsung bersumber dari Tuhan, bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan”. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno (pendiri aliran stoic).
Pada prinsipnya bahwa penganut hukum alam memandang hukum dan moral merupakan pencerminan dan pegaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori di dalamnya yang memunculkan dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak mustahil di antara para ahli hukum terdapat perbedaan pandangan, penilaian dalam menafsirkan, dan mengartikan hukum alam tersebut. Hal ini di antaranya dapat dilihat sebgai berikut.
a.    Soedjono Dirdjosisworo menjelaskan, bahwa hukum alam adalah ekspresi kegiatan dari kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak.
b.    Surojo Wignjodipuro mengatakan, bahwa hukuma alam adalah hukum yang digambarkan berlaku adil, sifatnya kekal (tidak dapat dirubah lagi), berlaku dimana pun dan pada zaman apa pun juga.
c.    Aristoteles dalam C.S.T Kansil mengatakan, bahwa hukum alam adalah hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.
Kemudian Thomas Aquinas (1225-1274) sebgai salah satu penganut hukum alam dari aliran scholastik pada pertengahan, memadukan ajaran Aristoteles dengan dogma agama kristen.
Menurut Thomas Aquinas bahwa dunia ini diatur oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu :
a.    Lex Aeterna, rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia;
b.    Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia bedasarkan waktu yang diterimanya;
c.    Lex Naturalis, hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
d.   Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif ini terdiri atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti terdapat dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
Mengenai konsepsi tentang hukum alam (lex naturalis) ini, Thomas Aquinas membagi asa hukum alam (lex naturalis) itu dalam dua jenis, yaitu (a) principia prima, dan (b) principcia scundaria. Principcia prima merupakan norma kehidupan yang berlaku fundamental, universal, dan mutlak serta kekal (berlaku bagi segala bangsa dan masa).
Adapun principcia scundaria, yaitu norma-norma kehidupan yang diturunkan dari principcia prima tidak berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu.
Dengan demikian, principcia scundaria itu adalah penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principcia prima. Penafsiran manusia itu bermacam-macam, dapat baik atau buruk. Karena kadang-kadang ditafsirkan dengan tujuan untuk kepentingan sendiri, principcia secundaria ini tidak mengikat masyarakat umum. Akan tetapi, baru dapat mengikat secara umum apabila hukum positif memberikan kepada norma-norma ini kekuasaan mengikat misalnya dalam bentuk undang-undang.
Dalam kiprahnya, aliran hukum alam senantiasa berpedoman bahwa hukum yang benar adalah hukum yang berasal dari Tuhan, sebagai hukum kodrat yang sesuai dengan alam kemudian dicurahkan ke dalam jiwa manusia, suatu hukum yang abadi dan tidak berubah-ubah.
Pada hakikatnya, menurut teori hukum alam pada kaedah yang sifatnya universal. Ia selalu merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dan eksis daripada hukum postif. Hukum alam sebagai kaedah yang bersifat universal, abadi, dan berlaku mutlak, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masaha hak asasi manusia (HAM).
Pada abad ke-17 muncullah seorang yang meletakkan dasar bagi hukum alam modern, yaitu Huge de Groot (Grotius 1583-1645) dengan karyanya De jure Belli ac Pacis (hukum perang dan damai) menjadikan akal sebgai barang yang sama sekali berdiri sendiri, dasar baru untuk pandanganya tentang negara dan hukum.
Huge de Groot berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal manusia, yaitu pencetusan dari pikiran manusia, apakah sesuatu tingkah laku manusia dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu denga lainnya harus didasarkan asat kesusilaan alam tersebut.
Thomas Hobbes (1588-1679) dengan karyanya De Cive (tentang warga negara), dan Leviathan or the Matter, Form and Power of a Commonwealth, Ecclesiastical and Civil (Leviathan, atau pokok, bentuk dan kekuasaan suatu hidup bersama, baik gerejani maupun sipil), John Locke (1632-1704) dengan karyanya Two Treatises of Civi Goverment (dua karangan mengenai pemerintahan sipil), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dengan karyanya Du Contract Social ou Principes du droit Politique (tentang kontrak sosial atau prinsip-prinsip hukum politik).
Ketiga ahli pikir tentang negara dan hukum di atas merupakan pelopor teori perjanjian masyarakat (sosial contract). Menurut perjanjian masyarakat bahwa hukum dibentuk bedasarkan perwujudan kemauan orang dalam masyarakat bersangkutan yang ditetapkan oleh negara (yakni alat perlengkapannya), yang mereka bentuk bersama karena suatu perjanjian, dan orang menaati hukum karena perjanjian tersebut.
Selanjutnya, pada abad ke-19 Rudolf Stammler (1856-1939 juga termasuk kedalam aliran hukum alam. Dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap tempat dan waktu. Rudolf Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya hukum itu hukm itu memenuhi memenuhi kebutuhan manusia.
a.    Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam yang bersifat abadi sebagai dasar dan alasan bagi hukum positif untuk memperoleh kekuatan mengikat. Instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem Internasional yang luas.
b.    Menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak yaitu pihak gereja dan kerajaan, dalam pergaulan antara mereka.
c.    Atas nama hukum alamlah kesaha dari hukum Internasional itu ditegakkan.
d.   Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasaan individu berhadapan dengan absolutisme.
e.    Dijadikan senjata peleh para hakim Amerika, pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melaui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.

Dengan demikian, fungsi hukum alam terhadap hukum positif, menurut Soedjono Dirdjosiworo adalah sebgai berikut :
a.    Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
b.    Hukum alam sebagai inti hukum positif seperti hukum Internasional.
c.    Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
 Selanjutnya, oleh Friedmann dalam Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa fungsi hukum alam adalah sebgai berikut :
3.      Mazhab atau Aliran Sejarah (Historis)
Mazhab atau aliran sejarah (historis) timbul dan tumbuh, sebagai suatu reaksi terhadap dua kekuatan yang berkuasa dari zamannya, yaitu sebagai berikut :
a.    Rasionalisme dari abad ke-18 dengan kepercayaannya kepada hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip pertama, yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, ciri khas nasional, dan kondisi sosial.
b.    Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap kekuasaan dan tradisi, kepercayaannya pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan, pesa kosmopolitannya.
Masalah konkret yang menimbulkan pikiran dasar aliran (mahzab) sejarah (historis) ini dimulai dengan Fiederich Carl von Savigny (1779-1861), dengan karangannya berjudul Vom Beruf Unserer Zeit Zur Gesetzgebung und zurRechtswissenschaft (tentang tugas pada zaman kini di bidang perundang-undangan dan ilmu hukum), sebagai reaksi atas ide Thibaut seorang guru besar (profesor) dari Universitas Heidelberg, yang sangat tepengaruh oleh kodifikasi hukum Prancis (Code Civil Prancis), dan ia menganjurkan agar diadakan kodifikasi hukum Jerman.
Menurut von Savigny bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa atau semangat sesuatu bangsa (volksgiest). Jiwa (semangat) bangsa menjelma dalam bahasa, adat kebiasaan, susunan ketatanegaraan, dan hukum bangsa itu. Aliran (mahzab)sejarah menolak pengagungan terhadap akal (rasio) manusia. Hukum tidak dibuat, melainkan diteruskan dalam masyarakat. Hukum masa lalu, serta menganggap peranan ahli hukum lebih penting daripada pembuat undang-undang.
Aliran (mahzab) sejarah ini membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah tata hukum yang pernah terjadi di dunia, dengan demikian mengembangkan pengertian bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan dengan masa lampau. Di lain pihak, Puchta (1798-1846) salah seorang murid van Savigny berpendapat :
Hukum berasaskan pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun menurut ikatan materiilnya. Artinya, hukum timbul dan berlaku karena terikat pada jiwa bangsa. Timbulnya hal itu dalam dalam tiga bentuk. Hukum timbul dari jiwa bangsa secara langsung dalam pelaksanaannya (dalam adat istiadat orang-orang), secara tidak langsung hukum timbul dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang dibentuk oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum (yang merupakan karya ahli hukum).
Kemudian Puchta, dalam Dias secara tegas mengatakan bahwa, hukum tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya mati apabila bangsa kehilangan kebangsaannya.
Ajaran pokok mazhab sejarah (historis) sebagaimana diruaikan oleh Savigny dan beberapa pengikutnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Hukum ditemukan, tidak dibuat. Ada pandangan pesimistis tentang perbuatan manusia. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2.    Karena hukum berkembang dari hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam beradaban modern, kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umu, terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir. Oleh karena itu, ahli hukum sebagai badan pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang itu sendiri.
3.    Undang-undang tidak berlaku atau dapat diterapkan secara unversal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar. Juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat dan daerah lain. Volksgeist dapat dilihat dalam hukumnya, oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi Volksgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
4.      Teori Teokrasi
Teori teokrasi ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Teori ini mengajarkan bahwa hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan harus Tunduk pada hukum. Perintah yang datang dari Tuhan dituliskan dalam kitab Suci, tinjauan mengenai  hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan agama, dan ajaran tentang legitiminasi kekuasaan hukum didasarkan atas kepercayaan dan agama
Penganut teori teokrasi ini antara lain adalah Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Agustinus mengajarkan bahwa yang menjadi wakil Tuhan di dunia adalah Paus. Adapun Thomas aquinas mengajarkan bahwa Raja dan Paus mempunyai kekuasaan yang sama, hanya bidangnya yang berbeda. Tugas raja dalam bidang keduniaan, sementara paus bertugas dalam bidang keagamaan. Kemudian Marsilius mengatakan bahwa kekuasaan atau yang menjadi wakil Tuhan di dunia adalah raja.
5.      Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut teori ini, kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat yang diselengarakan memelui perwakilan berdasarkan suara terbanyak. Negara berdasar ataskemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut. Teori kedaulatan rakyat menjelaskan bahwa hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah menyerahkan kepada suatu organisasi bernama negara yang terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat
Penganut teori ini diantaranya adalah Jean Jacques Rousseau yang dalam karanganya berjudul le contract social, yang mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat, orang meyerahkan kebebasan hak serta wewenangnya kepada rakyat seluruhnya, sehingga suasana kehidupanya alamiah berubah menjadi suasana kehidupan bernegara dan natural liberty berubah  menjadi civil liberty
6.      Teori Kedaulatan Negara
Menurut paham ini, kekuasaan hukum tidk dapat didasarkan kemauan bersama seluruh masyarakat, tetapi hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan negara. Adanya hukum karena adanya negara. Oleh karena itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh negara.
Teori kedaulatan negara ini dipelopori oleh Hans Kelsen dalam karyanya berjudul Reine Rechtehre, mengatakan bahwa hukum adalah tidak lain dari pada kemauan negara. Menurut Hans Kelsen, orang taat pada ukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai perintah negara, bukan karena negara menghendakinya.
7.      Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum timbul sebagai reaksi penyangkalan terhadap teori kedaulatn negara yang mengatakan, bahwa kedudukan hukum lebih rendah dari pada kedudukan negara. Negara tidak tunduk kepada hukum, karena hukum diartikan sebagai perintah dari negara. Pelopor teori kedaulatan hukum ini di antaranya adalah Leon Duguit dalam bukunya Traite bde Droit Constitusionel, dan H. Krabbe dengan karyanya Kristische der Staatslehre dan juga bukunya Die lehre der Rechtssouvereinitet. Menurut H. Krabbe bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum.
Pandangan H. Krabbe tesebut ditanggapi oleh jellinek dengan megemukakan teori Selbstbindung. Yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa negara dengan sukarela menyatakan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan sari kehendaknya ssendiri. Hukum tidak timbul dari kehendak atau kemauan negara. Dengan demikian, berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara.

8.      Aliran Hukum Positivisme atau Utilitarinisme
Aliran positivisme ini muncul pada abad ke-19 dengan pemikiran yang kritis terhadap idealisme yang terdapat dalam pemikiran hukum alam. Dengan melihat lebih banyak kepada realitas yang berkembang pada masa ittu. Aliran positivisme mengatakan bahwa kaedah hukum hagnya bersmber dari kekuasaan negara yang tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaedah sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya
Dengan mengutip pendapat Hart, dari W. Friedmann membedakan lima arti dari positivisme, yaitu:
1.    Anggapan bahwa undang-undang adalah perintah manusia
2.    Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan morl atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada
3.    Aggapan bahwa manusia (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum:  (a)layak dilanjutkan,dan (b)harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal usul dari undang-undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya
4.    Anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup dimana putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengikat tuntutan sosial, kebijaksanaan, dan norma moral
5.    Anggapan bahwa penilain moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan seperti halnya dengan pernyataann tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bu mkti
Selanjutnya, Austin menjelaskan bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilaksanakan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atu buruk, namudibn didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi (penguasa)
Kemudian John Austin membagi hukum itu kedalam dua bagian, yaitu :
a.    Hukum yang dibuat oleh tuhan dan
b.    Hukum yang disusun oleh umat manusia
Hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dalam :
a.    Hukum yang sebenarnya
b.    Hukum yang tidak sebenarnya
Hukum yang sebenarnya yang disebut juga dengan istilah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat ooleh penguasa, misalnya undang-undang dan peraturan pemerintah, serta hukum yang dibuat oleh rakyat secara individual, yang dapat digunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat oleh penguasa, atau badan berdaulat yang berwenang. Misalnya ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan atau atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan dan mahasiswa
Unsur perintah ini berartiada satu pihak menghendaki agar pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian, pihak lain yang diperintahkan akan mengalami penderitaan apabila pemerintah tersebut tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah
Ajaran pokok Austin dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Ajaranya tidak berkaitan dengan penilaian baik buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum
2.    Apa yang dimaksudkan dengan kaedah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum, walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat
3.    Pndanganya bertetangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mahzab sejarah
4.    Hakikat hukum semata-mata adalah perintah, semua hukum positif merupakan dari penguasa yang berdaulat
5.    Ajaran Austin dan aliran hukum positif pda umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
John Austin sering disebut bapak hukum inggris , selanjutnya, teori Austin ini dikembangkan lebih lanjutB oleh para ahli hukum jerman seperti Roudif von Jherig dan Georg Jellink. Kemudian Prancis oleh Francois Geny, hanya saja baik Jeremy Bentham, Rudolf von Jhering, bersama-sama John Stuart Mill, para pakar lebih cenderung mengolongkanya kedalam aliran utilitarianisme.
Jeremy Benthan menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme kedalam lingkungan hukum. Khususnya tentang kejahatan dan pemindaan. Bentham berpendapat bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kenikmatan, dan menekan serandah-rendahnya pengeritaan. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan atau tidak.
Kemudian bertham lebih lanjut mengatakan bahwa pembentuk hukum atau undang-undang seyoginya dapat menciptkan hukum atau undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua warga masyarakat secara individual.
Beda dengan Bertham , yaitu Roudolf dikenal sebagai pencetus teori yang disebut sicial utilitarianisme, dengan mengembangkan antara pikiran Bentham d Jhon Struart Mill degan hukum Austin
Hasil studi Jhering terdapat hukum Romawi, ilmu hukum yang menekankan pada teknik penyeempurnaan konsep-konsep.
         Kemudian Von Jhering mengangap :
Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuanya. Hukum sebagai sarana untuk megendalikan individu-individu, agar tujuanya sesuai degan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut Jhering teknik hukum merupaka metode yang digunakan para ahli hukum untuk menguasai hukum positif secara rasional, agar hukum dapat diterapkan secara tepat terhadap setiap perkara tersebut
Tokoh lain dari aliran ini adalah Jhon Stuart Mill , yang pendapatnya sejalan dengan Jeremy Bertham . kesatuan pendapat
9.      Teori Hukum Murni

Ide mengenai Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodologikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.

a.         Norma Dasar
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
b.       Nilai Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya

10.  Aliran Sosiologis
Menurut aliran ini, hukum merupakan hasil interkasi social dalam kehidupan di masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karena perkembangan hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat. Aliran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Efrilich dan Max Weber.
Menurut aliran ini,hukum tidak perlu diciptakan oleh Negara. Karena hukum bukan merupakan pernyataan-pernyataan, tetapi terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan golongan-golongan dalam masyarakat.
a.    Tahap Tradisional
1)   Bentuk legitimasi,yaitu tradisional,otoritas pribadi raja atau ratu.
2)   Bentuk administrasinya,yaitu patrimonial,dan turun temurun.
3)   Dasar ketaatannya,yaitu tradisional dan beban kewajiban yang sifatnya individual.
4)   Bentuk proses peradilannya,yaitu empiris,substantif,da personal (khadi)
5)   Bentik keadilannya adalah empiris.
6)   Tipe pemikiran hukumnya formal irasioanal,dan substantive rationality
b.    Tahap karismatik
1)   Bentuk legitimasinya yaitu otoritas yang kharismatik dengan kesetiaan personal
2)   Bentuk administrasinya yaitu tidak mengenal administrasi,hanya mengenal rutinitas dan charisma
3)   Dasar ketaatannya,yaitu respons terhadap karakter yang bersifat sosio psikologi dari individu
4)   Bentuk proses peradilannya,yaitu pewahyuan (relevations) dan empirical justice formalism.
5)   Bentuk keadilannya yaitu keadilan kharismatik
6)   Tipe pemikiran hukumnya yaitu formal irasional dan substantive rationality.
c.    Tahap Rational Legal
1)   Bentuk legitimasinya yaiu rational legal.Otoritas bersumber pada system hukumnya, yang diperankan secara rasional dan sadar.
2)   Bentuk administrasinya,yaitu birokrasi dan profesional.
3)   Dasar ketaatannya yaitu impersonal
4)   Bentuk proses peradilannya yaitu rasional yang dilaksanakan secara rasional yang abstrak melalui professional.
5)   Bentuk keadilannya yaitu keadilan social
6)   Tipe pemikiran hukumnya yaitu substantive rationality
Roscoe Pound (1870-1964) adalah penggagas pemikiran aliran Sosiological Jurispudence yang berkembang dan menjadi popular di Amerika Serikat.Roscoe Pund juga tokoh mazhab fungsional.
Menurut Roscoe Pound hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social. Untuk itu Pound mengemukakan fungsi hukum sebagai rekayasa social (social engineering), dalam melindungi kepentingan dalam masyarakat,baik kepentngan umum (public interest),kepentingan social (social interest) maupun kepentingan pribadi (individual interest).
Disamping itu Pound mengemukakan hukum yang berlaku/hukum sebagai proses  (law in action) mungkin sangat berbeda dengan hukm yang terdapat dalam buku-buku hukum atau kitab-kitab hukum (law in the books).
Dengan demikian, Roscoe Pound menganjurkan agar para sarjana hukum mempelajari akibat social yang ditimbulkan oleh lembaga hukum. Para sarjana hukum hendaknya mengadakan   peraturan hokum yang efektif  bagi tuuan untuk apa peraturan hukum itu di buat.Dalam melakukan social engineering hukum harus dikembangkan terus menerus agar selalu selaras dengan nilai-nilai social yang selau berubah.
Apabila diperhatikan pemikiran aliran sosiologis dengan aliran positivisme, terdapat persamaan dan perbedannya. Adapun persamaannya adalah terletak pada objek kajiannya, yaitu hukum tertulis, sedangkan perbedaanya dapat dilihat sebagai berikut:
a.    Pada aliran positivisme melihat hokum sebagai norma yang tertulis yang ada dalam peraturan perundang-undangan (law in books) sebagai suatu yang ideal, sedangkan pada aliran sosiologis melihat hukum sebagai kenyataan social (law in action).
b.    Pada aliran positivisme melihat ukum sebagai suatu yang otonom, sedangkan pada aliran sosiologis melihat hokum itu sesuatu yang tidak otonom, karena selalu dipengaruhi oleh factor yang ada diluar hukum (factor nonhukum) misalnya factor ekonomi,politik, social, dan budaya.
c.    Pada aliran positivism senantiasa membicarakan hokum tentang apa yang seharusnya (das sollen) sedangkan pada aliran sosiologis selalu mengkaji hukum dalam kenyataan yang ada di dalam kehidupan social masyarakat (das sein).
d.   Pada aliran positivisme melihat keberadaan hokum secara yuridis dogmatic, yakni dogma yang harus diikuti secara prosedur dan serba kaku. Sedangkan pada aliran sosiologis melihat keberadaan hukum secara empiris sosiologis yang senantiasa memandang hukum sebagai norma yang harus memenuhi tata keadilan masyarakat secara luas (keadilan substansial).
e.    Pada aliran positivisme pendekatannya menggunakan metode perspektif, yakni mengharapkan hokum positif dan penerapannya selalu diterima oleh warga masyarakat, sedangkan pada aliran sosiologis pendekatannya dengan menggunakan metode deskriptif, yakni mengkaji hukum dengan cara survey lapangan, observasi perbandingan,analisa statistic,dan metode eksperimen.

11.  Aliran Antropologi
Menurut aliran antropologi,hokum adalah norma yang tidak tertulis yang tumbuh dan hidup secara nyata dalam masyarakat seiring dengan perkembangan budaya. Penganut aliran ini adalah Sie Hendry Maine,Redellife-Brown, Malinowski,Paul J.Bohannan, dan E.A.Hoebel menunjukan hal tersebut meskipun dengan beberapa perbedaan dan penekanan tertentu.
Sir Hendry Maine (1822-1888) membedakan antara masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara,yaitu fiksi,equality,dan perundang-undangan.
Masyarakat yang statis lebih menekankan  kepada status quo, didasarkan pada kedudukan (status) sesorang dalam masyarakat.
Berbeda dengan Savigny, Maine menyukai perundang-undangan dan kodifikasi. Dengan demikian,Maine tidak sependapat konsep volksgeist dari Savigny. Tesis Maine yang terkenal adalah perubahan masyarakat menjadi progresif ditandai dengan perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada kontrak. Salah satu aliran pemikiran yang ada pada antropologi modern yang cukup menarik perhatian para ahli hukum adalah aliran kultural fungsional.
Aliran kulturan fungsional dari aliran antropologi, menurut Satjipto Rahardjo yaitu :
Satu-satunya cara untuk menjelaskan masyarakat secara seksama adalah dengan mengamati dan merumuskan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga dalam kerangka kebudayaan. Dengan cara demikian itu,totalitas dari system kultural sera kaitan-kaitan antara unsur-unsurnya muncul.
Redellife-Brown mengartikan hukum sebagai control social melalui peetapan secara sistematis kekuatan masyarakat yang diorganisasikan secara politik.Paul J. Bohannan mengatakan bahwa pada dasarnya hukum adalah suatu pelembagaan kembali (reinstitutionalization) kebiasaan dalam masyarakat.
Jadi hukum adalah kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali untuk memenuhi tujuan yang terarah dalam kerangka apa yang disebut hukum. Dengan melalui pelembagaan kembali, ia digarap secara khusus sehingga memperoleh bentuk yang dapat dikelola secara hukum.
E.A Hoebel menyatakan bahwa melakukan fungsi-fungsi yang esensial untuk mempertahankan masyarakat,yaitu sebagai berikut :
a.    Merumuskan  pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berprikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat.
b.    Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat,sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.    Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.
d.   Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan anatara warga masyarakat dan kelompok,apabila terjadi berbagai perubahan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kemampuan beradaptasi.

12.  Aliran Realis
Gerakan pemikiran aliran realis dalam ilmu hukum timbul di Amerika Serikat dan Skandinavia. Kaum realis mendasarkan pemikirannya kepada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut aliran realis hukum apa yang di buat oleh hakim melalui putusannnya, dan hakim lebih layak disebut membuat hukum daripada menemukan hukum.
Seorang hakim melakukan pilihan,prinsip mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan dan di garapnya peraturan hukum yang menjadi landasannya.
Aliran realis ini selalu menekankan pada hakikat manusiawi dalam pelaksanaan hukum, sehingga para penganutnya menekankan agar pendidikan hukum senantiasa mengupayakan mahasiswanya untuk mendatangi dan mengenai proses peradilan.
Otak gerakan realis dari Amerika Serikat adalah Karl Llwellyn (1893-1962) Jerome Frank (1889-1957), dan hakim Agung Amerika Serikat Olive Wendell Holmes (1841-1935), kemudian dari Swedia dipelopori oleh Hagerstron (1868-1939),dan dari Denmark tokoh nya adalah Alf Ross.
Aliran realis di Amerika Serikat,pada prinsipnya diwujudkan berdasarkan penerimaan secara umum terhadap “realism filsafat”, yang mempengaruhi para hakim, sehingga berfikiran “realisme”.
Aliran ini sesungguhnya menganggap hukum adalah semua yang dihasilkan (diputuskan) oleh pengadilan sebagai suatu yang realitas atau kenyataan (das sein) dalam masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum melalui putusan hakim,berasal dari kalangan praktisi (hakim) dan pengajar ilmu hukum di perguruan tinggi.
Karl Llwellyn menggariskan pokok-pokok pendekatan aliran realis di Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
a.    Hendaknya konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
b.    Hukum adalah untuk mencapai tujuan social.
c.    Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, oleh karena itu selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum menghadapi problem social yang ada.
d.   Guna keperluan studi untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought.
e.    Tidak mempercayai anggapan bahwa peraturan dan konsep hukum sudah mencakupi untuk menunjukan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah yang utama dalam pendekatan mereka terhadap hukum.
f.     Sehubungan dengan butir di atas, mereka yang menolak teori trdasonal bahwa peraturan hukum merupakan factor utama dalam mengambil keputusan.
g.    Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga lebih nyata. Peraturan hukum meliputi situasi yang banyak dan berbeda beda. Oleh karena itu ia bersifat umum, tidak konkret, dan tidak nyata.
h.    Hendaknya hukum dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek tersebut.
Di lain pihak, Jerome Frank (seorang hakim Amerika Serikat) yang esensi ajarannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.    Memotivasi hakim untuk melakukan reformasi terhadap hukum unruk kepentingan keadilan.
b.    Hukum tidak mungkin dipisahkan dari putusan pengadilan.
c.    Hukum tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan yang tetap.
d.   Putusan hakim diturunkan secara otomatis dari aturan hukum yang tetap.
e.    Putusan pengadilan bergantung pada berbagai factor,seperti kaedah hukum dan factor nonhukum (politik,ekonomi,dan moral).
Kemudian Holmes mengemukakan bahwa melihat kelakuan actual para hakim (patterns of behaviour), menjadi jelas bahwa hukum adalah apa yang dilakukan oleh para hakim di pengadilan. The Patterns of behavior,para hakim menentukan apa itu hukum. Kedah hukum hanya memberikan bimbingan. Moral hidup pribadi dan kepentingan social ikut menentukan putusan.
Esensi dari ajaran realism hukum dari Holmes dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Perkembangan ilmu hukum itu terletak pada pengujian fakta-fakta
b.    Kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika,melainkan pengalaman (the life of the law has been not logic, but experience).
c.    Yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan,dan tdak ada yang lebih penting dari itu.
Selanjutnya,aliran realis di Skandinavia berpandangan bahwa hukum adalah putusan hakim yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan atau psikologi yang tidak lebih dari reaksi otak. Aliran ini dipelopori Hagerstrom, Villhelm Lundstedt, Olivecrona, dan Alf Ross.
Hegerstrom menyatakan bahwa tidak ada apa yang disebut “kebaikan” dan “kejelekan” di dunia. Ia mengingkari adanya nilai-nilai yang objektif. Semua pesoalan tentang keadilan, tujuan hukum, adalah soal penilaian pribadi dan tidak dapat dijadikan objek pengamatan ilmiah.
Vilhelm Lundstedt menyatakan hak dan kewajiban merupaakn sesuatu yang subjektif,yang menunjukan kepada kedudukan seseorang sebagai konsekuensi dari bekerjanya hukum. Hukum terdiri atas peraturan dengan penerapan dari ketentuan yang terorganisasi sebagai suatu fakta dari kenyataan social.
Olivecrona mengatakan bahwa dalam mempelajari hukum yang utama adalah mengumpulkan fakta-fakta yang diliputi oleh peraturan hukum. Kemudian Alf Ross seorang ahli hukum Denmark, menyatakan bahwa hukum adalah pengetahuan yang berada dalam kaitan korespindensinya dengan fakta-fakta sosial, yang bekerja dan dirasakan oleh para hakim mempunyai daya ikat social,dan oleh karena itu dipatuhi.
Antara aliran realis di Amerika Serikat degan aliran realisdi Skandinavia terdaat perbedaan, di samping itu juga ada persamaannnya. Perbedaannya terletak pada putusan dan rilaku hakim. Aliran realis di Amerika Serikat memndang hukum terletak pada apa yang diputuslkan (dibuat) oleh hakim, sedangkan pada aliran realis di Skandinavia memandang hukum itu dari aspek prilaku yang mempengaruhi keputusannya.

Adapun persamannya adalah sebagai berikut :
a.     Sama-sama menolak keberadaan Das Sollen dan Das Sein dalam studi hukum.
b.    Sama-sama menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan berbagai kenyataan dari system hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifin, Pipin.1999.Pengantar Ilmu Hukum.Bandung : CV Pustaka Setia.
Mas, Marwan.2011.Pengantar Ilmu Hukum.Bogor : Ghalia Indonesia.
Said,Umar.2013.Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta : Remaja Rosda Karya.
Ishaq.2012.Dasar-Dasar Ilmu Hukum.Jakarta:Sinar Grafika.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar