Minggu, 07 Agustus 2016

HADITS SEBAGAI DASAR TASYRI"


HADITS SEBAGAI DASAR TASYRI"


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ta’rif dan Dasar Tasyri’
Yang dimaksud dengan tasyri’ adalah menetapkan ketentuan syari’at islam atau hukum islam. Hukum islam adalah firman syar’I yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.

B.     Hadits Sebagai Dasar Tasyri’
Pengertian hukum islam menurut Ushul Fiqh ialah firman (nash) dari pembuat syara’ baik firman Allah maupun Hadits Nabi SAW.
Syari’at adalah hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya dengan perantaraan Rosulullah SAW supaya para hamba melaksanakan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliah lahiriah, maupun yang mengenai akhlaq dan aqidah yang bersifat batiniyah.
Syari’at islam dalam arti luas meliputi segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlaq, ibadah dan muammalah.
Hukum islam meliputi : hukum taklif dan hukum wadh’i.
Hukum taklif adalah hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan atau keizinan, yakni:
1.      Ijab (wajub), yaitu firman Allah yang menuntut Sesutu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, dicela meninggalkannya.
2.      Nadh (anjuran), yaitu firman yang menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, tidak dicela meninggalkannya.
3.      Tahrim (larangan), yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti, dicela mengerjakannya.
4.      Karahah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tidak dicela mengerjakannya.
5.      Ibahah (kebolehan), yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
Hukum Wadh’I ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatn-perbuatan itu, seperti sah atau batal, rukhsah dan ‘azimah. Umpamanya, membunuh adalah sebab bagi hukuman qishas, karena membunuh itu menjadi sebab untuk mendapat hukuman qishas. Dapat menyerahkan sesuatu untuk dijual adalah hukum Wadh’I, karena menyerahkan yang dijual itu menjadi syarat sah akad jual beli. Kegiatan jual beli orang gila adalah batal. Apabila timbul darurat, sebagai rukhshah, maka yang asalnya tidak boleh menjadi boleh. Sedangkan ‘azimah adalah hukum yang ditetapkan yang harus dijelaskan dalam keadaan biasa, normal, bukan untuk meringankan.
Dasar Syari’at dan hukum islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan islam adalah al-qur an, as-sunah dan ijtihad.
Al-qur an sebagai pokok hukum merupakan dasr pertama dan hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah atau urutan derajat, al-Qur an lebih tinggi rutbah derajatnya dari Hadits.
Yang menjadi alas an penempatan urutan derajat al-Qur an lebih tinggi dari Hadits, antara lain:
1.      Al-Qur an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lafazh dan maknanya diterima umat dengan qath’I didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat besar, ditulis secara resmi dan seksama oleh penulis wahyu atas perintah Nabi, dikumpulkan dalam mushhaf yang terpelihara dalam keasliannya tanpa perubahan walaupun sehuruf.
Sedangkan Hadits tidak sampai derajat demikian. Pada dasarnya Hadits bersifat zhanni. Hadits qauli sangat sedikit sekali yang mutawatir berupa ‘amal praktek ibadah, seperti shalat, baik cara maupun raka’atnya, tentang puasa, haji dll.
2.      Al-Qur an merupakan dasar dan pangkal bagi Hadits. Segala yang diuraikan Hadits berasal dari al-Qur an. Hal ini disebabkan karena al-Qur an lengkap isinya, agama telah disempurnakan dengan uraian yang dipaparkan dalam al-Qur an maka Hadits berfungsi untuk menerangkan dan mensyarahkan apa yang termaktub dalam al-Qur an.
3.      Menurut petunjuk akal, kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rosul Allah SWT yang telah diakui dan dibenarkan umat islam. Didalam melaksanakan  tugas agama, yaitu  menyampaikan hukum  syari’at kepada umat, kadang-kadang beliau membawakan perraturan-peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah diterima dari allah. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang juga beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham.
Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku sampai ada nash yang menaskhkannya. Sudah layak sekali kalau peraturan-peraturan dan inisiatip beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham, maupun ijtihad beliau, ditempatkan sebagai sumber hukum. Kepercayaan yang telah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk mentaati segala peraturan yang telah dibawanya.
4.      Penjelasan dari al-Qur an, Hadits Nabi SAW dan fatwa shahabat yang menerangkan jenis sumber dan dasar hukum Islam dan rutbahnya.
5.      Tentang dasar hukum islam itu telah terjadi ijma’ dikalangan para sahabat, yang telah sepakat menetapkan wajib al-ittiba’ (taa) terhadap Hadits, baik pada masa rosulullah masih hidup maupun sesudah wafat. Di waktu rosulullah masih hidup, para sahabat konsekuen melaksanakan hokum-hukum rosul, mematuhi peraturan dan meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal Rosulullah SAW, para sahabat seperti Abu bakar bila tidak menjumpai ketentuan dalam Hadits, atau tidak ingat akan sesuatu ketentuan dalam Hadits Nabi, ia selalu menanyakan kepada siapa yang mengingatnya. Umar dan sahabat yang lain meniru tindakan Abu Bakar tersebut. Atas tindakan para Khulafa ar-rasyidin tersebut tidak ada seorangpun dari sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karenanya hal demikian itu adalah ijma’.
6.      Al-Syatibi dalam al-Muwafaqatnya, menerangkan bahwa al-Qur an dan Hadits sebagai dasar hokum Islam dan rutbah Hadits dibawah rutbah al-Qur an oleh karena:
a.       Al-Qur an diterima dengan jalan Qath’I, global dan detailnya diterima dengan meyakinkan, sedangkan Hadits diterima dengan jalan Zhan, keyakinan kepada Hadits anya sebatas global, bukan secara detail.
b.      Hadits adakalanya menerangkan sesuatu yang mujmal dari al-Qur an, adakala menyarahkan al-Qur an, bahkan mendatangkan yang belum didatangkan oleh al-Qur an.

Ketika hadits bersifat bayan atau syarah, tentu keadaan keduanya tidak sama dengan derajat pokok yang dijelaskannya. Nash yang bersifat pokok dipandang sebagai azas, yang bersifat syarh dipandang sebagai cabang, sedangkan jika bersifat mendatangkan (suatu hokum) yang tidak didatangkan al-Qur an, tiadalah diterima kalau berlawanan dengan apa yang ada dalam al-Qur an, namun diterima kalau yang didatangkan itu tidak ada dalam al-Qur an.
7.      Dari segi kewahyuan diketahui, bahwa al-Qur an dan Hadits adalah wahyu, baik dalam arti al-Iha maupun dalam arti al-Muhabih.

Hadits merupakan bagian dari wahyu, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT :

“dan tiadalah yang diucapkan itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-najm, 53:3).

Wahyu dalam makna al-Iha berarti penyampaian sesuatu pengetahuan dengan cara tersembunyi dan cepat, yakni penyampaian Syari’at oleh Allah kepada Nabi dengan jalan tersembunyi, yang menghasilkan ilmu yang qath’I datangna dari Allah SWT.
Penyampaian informasi dari Allah SWT dalam al-Qur an:

“dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali perantaraan wahyu atau dibelakang tabir dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. As-syura, 42:52).

a.       Penyampaian dengan jalan ilham, yaitu memberikan makna pada hati Nabi SAW secara cepat dengan ilmu yakni bahwasanya hal itu dari Allah SWT, pemberianya terkadang saat tidur dan terkadang saat terjaga. Penyampaian seperti itu adalah maksud dari kalimat “illa wahyan” pada ayat di atas.
b.      Pembicaraan dibelakang hijab atau tanpa sepengetahuan Nabi bahwa itu adalah Allah, saat berfirman dan yang ada terdengar kalimat-kalimat-nya. Seperti contoh, pemberian wahyu pada Nabi Musa AS atau pada saat Nabi Muhammad SAW mi’raj dan menerima perintah shalat.
c.       Penyampaian informasi Allah bagi Nabi melalui pelantaraan Malaikat dalam keadaan tidur maupun terjaga. Malaikat pada saat itu berwujud dirinya sendiri atau menyerupai manusia. Terkadang Nabi tidak melihat apa-apa dan yang terdengar  hanyalah kerasnya gemerincing suara.

Wahyu dalam pengertian al-Mubahih terbagi kepada Matlu dan ghair Matlu.
a.       Matlu (dapat dibaca), yaitu al-Qur an yang Allah jadikan sebagai mukjizat dan hujjah bagi Nabi Muhammad SAW dan dia menjaganya dari perubahan serta penyimpangan sampai hari kiamat (QA. Al-Hijr : 9). Diturunkan melalui jibril dalam bentuk lafazh serta maknanya, tidak memungkinkan bagi seorangpun untuk mempengaruhinya, karena ia diturunkan dari Allah SWT (QS. As-Syu’ara: 193). Dan ijma’ ulama menyebutkan bahwa al-Qur an diturunkan oleh Allah WT melalui pelantaraan Malaikat jibril dalam keadaan terjaga dan tidak melalui cara penyampaian wahyu lainnya.
Salah satu kekhususan al-Qur an adalah berupa ibadah bagi yang membacanya pada saat shalat dan di luar itu, dan tak seorangpun untuk meriwayatkannya secara makna, karena lafazh dan maknanya adalah Mukjizat.
b.      Ghairu Matlu Bih (tidak dapat dibaca dengannya), yaitu hadits atau as-sunah an-nabawiyah, berdasrkan pada firman allah:

“dan tiadalah yang diucapkan itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-najm, 53:3).dan “barang siapa yang mematuhi rosul maka sudah mematuhi Allah…..”, dan sebagainya.

Hadits memang berbeda dengan al-Qur an, ia diturunkan dengan makna serta lafazh dari Nabi Muhammad SAW sehingga umat boleh meriwayatkannya secara makna yang pernah diriwayatkan oleh para ulama. Lafazh as-sunah bukanlah mukjizat dan tidak menjadi ibadah bagi yang membacanya. Namun secara umum, karena Hadits berisikan ajaran Islam, maka wajib untuk dipelajari.

C.    Hadits Sebagai Bayan Al-Qur an
Umat islam  mengambil  hukum-hukum Islam dari al-Qur an yang diterima dari Nabi Muhammad SAW dan itu kerap kali al-Qur an membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak Mufashal; kerap kali membawa keterangan yang bersifat mutlaq, tidak muqayyad. Perintah shalat, al-Qur an menjelaskan secara mujmal sekali, tidak menerangkan jumlah raka’atnya, tidak menerangkan syaratnya, rukun dan kaifiatnya.
Memang banyak hukum dalam al-Qur an yang tidak bisa dijalankan  bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang berpautan dengan syarat-syarat, rukun-rukunnya, batal-batalnya dan lain-lain dari Hadits Nabi Muhammad SAW. dalam pada itu banyak pula kejadiankejadian yang terjadi yang tak ada nash yang menaskhkan hukumnya dalam al-Qur an yang tegas terang. Dalam hal ini lebih-lebih lagi diperlukan ketetapan Nabi yang diakui sebagai utusan Allah untuk menyampaikan syari’at dan undang-undang islam kepada umat.
Firman Allah SWT:

“dan telah kami turunkan kepada engkau adz-dzikir untuk engkau terangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka suka berfikir” (QS. An-nahl: 44).

Firman Allah SWT:

“sungguh Allah telah melimpahkan Nikmat-nya atas para mukmin karena Allah telah membangkitkan dalam kalangan mereka seorang Rosul dari diri mereka sendiri yang membacanya ayat-ayat Allah dan mereka, serta mengajari mereka kitab dan hikmat walaupun mereka dahulunya dalam sesat yang nyata” (QS. Ali-Imran : 164).

Jumhur ulama dan ahli tahqiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hikmat dalam ayat ini ialah keterangan-keterangan agama yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mengenai hikmat dan hukum yang dinamai sunnah atau hadits.
Hadis adalah sumber yang kedua dari hokum-hukum islam, menerangkan segala yang dikehendaki al-Qur an, sebagai penjelas, penyesah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan hahirnya.
Para ulama, baik ahl al-ra’y maupun ahl al-atsar sepakat menetapkan, bahwa hadits berkedudukan dan berfungsi  untuk  menyarahkan dan menjelaskan al-Qur an. Akan tetapi para ulama ahl al-ra’y memberi batasan penjelasan-penjelasan Hadits yang diperlukan, sedangkan ahl al-atsar melebarkan lapangan penjelasan itu.
Menurut fuqaha ahl al-ra’y, sesuatu titah al-Qur an yang khas madlulnya tidak memerlukan lagi penjelasan hadits. Hadits yang datang mengenai titah  itu ditolak, yang demikian itu hukumnya menambah sehingga tidak diterima, kecuali kalau sama kekuatannya dengan ayat itu.
Fuqaha ahl al-atsar berpendapat, segala Hadits yang shahih mengenai masalah  yang telah diterangkan al-Qur an harus dipandang menjelaskan al-Qur an, mentakhshihkan umum al-Qur an, mengqayyidkan mutlaq al-Qur an.
Sandaran ahl al-ra’y dalam hal ini adalah Abu bakar, ‘Umar dan Aisyah;
1.      Abu bakar pernah mengumpulkan para sahabat dan menyuruh menolak Hadits yang berlawanan dengan al-Qur an.
2.      ‘Umar pernah menolak Hadits Fatimah binti Qais yang menerangkan, bahwa istri yang ditalak habis tidak berhak diberikan nafkah dan tempat, karena berlawanan dengan zhahir ayat surat at-ahalaq. Menurut zhahir ayat, setiap wanita yang ditalak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah. Umar berkata: “saya tidak mau meninggalkan Kitab Allah lantaran berita seorang wanita yang boleh jadi benar dan boleh jadi salah”.
3.      ‘Aisyah menolak Hadits yang menerangkan bahwa orang mati yang disiksa dengan sebab tangisan keluarganya, dengan mengemukakan ayat:

“tiada menanggung seseorang akan kesalahan orang lain” (QS. Al-an’am: 103).

Selanjutnya lebih jauh secara terperinci diungkapkan pendapat para ulama tentang fungsi Hadits sebagai dasar Hukum Islam dan fungsi Hadits sebagai penjelas, interpretasi dan bayan terhadap al-Qur an sebagai berikut:
1.      Menurut ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanifah):
a.       Bayan Taqrir
Bayan taqrir atau sering disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-qur an. Dalam hal ini, hadits hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur an.
Contoh:

“....karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa.....”(QS.al baqarah [2]: 185)

Ayat diatas ditaqrir oleh Hadits Nabi SAW, yaitu:

“....apabila kalian melihat (ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah....” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).

Contoh  lainya adalah QS. Al-maidah [5]:6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yaitu:

“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan sikut, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,....”(QS. Al-maidah [5]:6).

Ayat al-Qur an di atas ditaqrir oleh Hadits Nabi SAW, yakni :

rosulullah SAW bersbda,”tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudlu”.(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).




b.       Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayatyang masih muthlaq, dan memberikan takhshih ayat-ayat yang masih umum.
Diantara contoh bayan tafsir mujmal adalah seperti hadits yang menerangkan ke-mujmal-lan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat al-Qur an yang menjelaskan tentang ibadah tersebut masih bersifat global atau garis besarnya saja. Contohnya jika diperintahkan shalat, namun al-Qur an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW. Dengan sabdanya:
                       
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

Diantara contoh-contoh bayan tafsir musytarak fihi, adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT berfirman :

“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka mentembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalamm masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. Al-baqarah [2]: 228)
Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini, datanglah Hadits Nabi SAW berikut ini:

Talak budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid. (HR.ibnu majah)

Sehingga arti perkataan quru’ dalam ayat al-Qur an Surat Al-Baqarah :228 berarti suci dari haid.

Contoh lainnya dalam QS. Al-maidah : 38

”laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

Ayat yang bersifat muthlaq diatas ditaqyid oleh Hadits Nabi SAW, yakni:

Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih. (HR. Mutafaq “alaih menurut lafazh Muslim)

Contoh lainya dalam QS. An-nisa : 11

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian puska tentang) anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. Am-nisa [4]:11)

Ayat yang bersifat umum diatas ditakhshis oleh Hadits Nabi SAW, yakni :

Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan. (HR. Ahmad)

c.       Bayan Naskh
Secara bahasa, an-nasakh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Para ulama, baik mtaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinidikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan bayan an-naskh dari segi kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-naskh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertin tersebut, menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-naskh, dapat dipahami bahwa Hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi al-Qur an yang datang kemudian.
Diantara ulama yang membolehkan adanya naskh hadits terhadap al-qur an, juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang bisa dipakai untuk men-naskh Al-Qur an. Dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok.
Pertama, yag membolehkan men-naskh al-qur an dengan segala hadits, meskipun hadits ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oloeh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Kedua, yang membolehkan men-naskh al-qur an dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan men-naskh dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama hanafiah.

Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama adalah sabda Rosulullah SAW dari Abu Umamah Al-Bahili,

Sesungguhnya allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat gagi ahli waris. (HR. Ahmad dan Al-‘Arba’ah, kecuali an-nasa’i. Hadits ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-tirmidzi)

Hadits ini menurut mereka men-naskh isi al-qur an surat Al-baqarah [2]: 180, yakni :

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 180).

Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 180 di atas, di- naskh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.

2.      Menurut Malik:
a.       Bayan Taqrir; menetapkan dan mengokohkan hukum al-Qur an.

“berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihatnya”.(HR. Mutafaq ‘alaih)

b.      Bayan Tafsir; menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yang menerangkan maksud ayat yang dipahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksud oleh ayat sendiri. Seperti ayat:

“dan segala mereka yang membendaharakan emas dan perak dan tiada mereka membelanjakan pada jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan adzab yang amat pedih” (QS. At-taubat: 34)

Waktu  ayat ini diturunkan para sahabat merasa sangat berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, maka Nabi menjawab : “allah tidak mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah kamu zakati”. Mendengar sabda tersebut, ‘Umar mengucapkan takbir.
Penjelasan ini masuk kedalam  bayan  Tafsir, yaitu  menentukan salah satu kemuhtamilan, mengqayidkan  yang  muthlaq dan  mentakhshiskan yang umum.
c.       Bayan  Tafshil; menjelaskan kemujmalan al-Qur an, seperti hadits yang mentafshilkan kemujmalan tentang shalat:

“dirikanlah olehmu shalat”.

d.      Bayan  Bashthi (tasbith atau ta’wil); memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur an, seperti ayat:

“dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal ditempat yang tidak turut pergi ke medan perang” (QS. At-taubah: 118).

Kisah yang dimaksudkan oleh ayat ini telah diterangkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sebab Nabi SAW mencegah orang berbicara dengan orang yang tiga itu.
e.       Bayan Tasyri’; mewujudkan hukum yang tidak tersebut dalam al-Qur an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi; dan seperti radha’ah (saudara sepersusuan) mengharamkan pernikahan antara keduanya, mengingat ada hadits yang mengatakan:

“haram lantaran radha’ apa yang haram lantaran nasab (keturunan)”.(HR. Ahmad dan Abu Daud).

3.      Menurut syafi’i
a.       Bayan  Tafshil, menjelaskan ayat-ayat mujmal, yang sangat ringkas petunjuknya.
b.      Bayan Takhshish, menentukan sesuatu dari umumnya ayat.
c.       Bayan  Ta’yin, menentukan  nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksud.
d.      Bayan  Tasyri’, menetapkan  hukum  yang  tiada didapati dalam al-Qur an secara tekstual.
e.       Bayan  Nasakh, menentukan  mana  yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur an yang kelihatan berlawanan.

4.      Menurut Ahmad ibn Hambali:
a.       Bayan  Taqrir, menerangkan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur an apabila Hadits itu sesuai petunjuknya dengan petunjuk al-Qur an.
b.      Bayan Tafsir, menjelaskan suatu hukum al-Qur an dengan menerangkan apa yang dimaksud oleh al-Qur an.
c.       Bayan Tasyri’, mendatangkan suatu hukum yang didiamkan oleh al-Qur an, yang tidak diterangkan hukumnya.
d.      Bayan Takhshish dan taqyid, mengkhususkan al-Qur an dan mengqayidkannya.

Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa hadits merupakan dasr juga bagi hukum-hukum islam setelah al-Qur an. Umat Islam harus mengikuti petunjuk Hadits sebagaimana dituntut ;mengikuti petunjuk al-Qur an.
Yang dimaksud mengikuti Rosul SAW atau melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya adalah dengan mengikuti Sunnahnya atau Haditsnya, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebaainya.



                                                                                                                                                                                                                                                         




Tidak ada komentar:

Posting Komentar