HADITS SEBAGAI DASAR TASYRI"
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ta’rif dan Dasar Tasyri’
Yang
dimaksud dengan tasyri’ adalah menetapkan ketentuan syari’at islam atau hukum islam. Hukum islam adalah firman syar’I yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yang mengandung tuntutan,
membolehkan sesuatu sebagai syarat adanya yang lain.
B. Hadits Sebagai Dasar Tasyri’
Pengertian
hukum islam
menurut Ushul Fiqh ialah firman (nash) dari pembuat syara’ baik firman Allah
maupun Hadits Nabi SAW.
Syari’at
adalah hukum
yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-nya dengan perantaraan Rosulullah
SAW supaya para hamba melaksanakan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliah
lahiriah, maupun yang mengenai akhlaq dan aqidah yang bersifat batiniyah.
Syari’at
islam dalam arti luas meliputi segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlaq,
ibadah dan muammalah.
Hukum
islam meliputi : hukum taklif dan hukum wadh’i.
Hukum
taklif adalah hukum yang mengandung tuntutan yang berupa perintah, larangan
atau keizinan, yakni:
1.
Ijab (wajub), yaitu firman Allah yang
menuntut Sesutu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, dicela meninggalkannya.
2.
Nadh (anjuran), yaitu firman yang
menuntut sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, tidak dicela
meninggalkannya.
3.
Tahrim (larangan), yaitu firman yang
menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti, dicela
mengerjakannya.
4.
Karahah, yaitu firman yang menuntut
meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tidak dicela
mengerjakannya.
5.
Ibahah (kebolehan), yaitu firman yang
membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
Hukum Wadh’I ialah hukum yang dijadikan sebab atau syarat
atau penghalang terhadap pekerjaan atau hukum-hukum
yang dijadikan sebagai hasil dari perbuatn-perbuatan itu, seperti sah atau
batal, rukhsah dan ‘azimah. Umpamanya, membunuh adalah sebab bagi hukuman
qishas, karena membunuh itu menjadi sebab untuk mendapat hukuman qishas. Dapat
menyerahkan sesuatu untuk dijual adalah hukum Wadh’I, karena menyerahkan yang
dijual itu menjadi syarat sah akad jual beli. Kegiatan jual beli orang gila
adalah batal. Apabila timbul darurat, sebagai rukhshah, maka yang asalnya tidak
boleh menjadi boleh. Sedangkan ‘azimah adalah hukum yang ditetapkan yang harus
dijelaskan dalam keadaan biasa, normal, bukan untuk meringankan.
Dasar
Syari’at dan hukum
islam dalam arti pegangan, sumber atau mashdar perumusan perundang-undangan
islam adalah al-qur an, as-sunah dan ijtihad.
Al-qur
an sebagai pokok hukum
merupakan dasr pertama dan hadits sebagai dasar kedua, dengan kata lain ada rutbah
atau urutan derajat, al-Qur an lebih tinggi rutbah derajatnya dari Hadits.
Yang
menjadi alas an penempatan urutan derajat al-Qur an lebih tinggi dari Hadits,
antara lain:
1. Al-Qur
an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lafazh dan
maknanya diterima umat dengan qath’I didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat
besar, ditulis secara resmi dan seksama oleh penulis wahyu atas perintah Nabi,
dikumpulkan dalam mushhaf yang terpelihara dalam keasliannya tanpa perubahan
walaupun sehuruf.
Sedangkan
Hadits tidak sampai derajat demikian. Pada dasarnya Hadits bersifat zhanni. Hadits qauli sangat sedikit sekali
yang mutawatir berupa ‘amal praktek ibadah, seperti shalat, baik cara maupun
raka’atnya, tentang puasa, haji dll.
2. Al-Qur
an merupakan dasar dan pangkal bagi Hadits. Segala yang diuraikan Hadits
berasal dari al-Qur an. Hal ini disebabkan karena al-Qur an lengkap isinya,
agama telah disempurnakan dengan uraian yang dipaparkan dalam al-Qur an maka
Hadits berfungsi untuk menerangkan dan mensyarahkan apa yang termaktub dalam
al-Qur an.
3. Menurut
petunjuk akal, kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rosul Allah SWT yang
telah diakui dan dibenarkan umat islam. Didalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum syari’at kepada umat, kadang-kadang beliau
membawakan perraturan-peraturan yang isi dan redaksi peraturan itu telah
diterima dari allah. Dan kadang-kadang beliau membawakan peraturan-peraturan
hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah. Dan tidak jarang juga
beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tiada
ditunjuk oleh wahyu atau dibimbing oleh ilham.
Hasil ijtihad beliau ini terus berlaku
sampai ada nash yang menaskhkannya. Sudah layak sekali kalau
peraturan-peraturan dan inisiatip beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan ilham, maupun ijtihad beliau, ditempatkan sebagai sumber hukum. Kepercayaan yang telah kita berikan
kepada beliau sebagai utusan Allah mengharuskan kepada kita untuk mentaati
segala peraturan yang telah dibawanya.
4. Penjelasan
dari al-Qur an, Hadits Nabi SAW dan fatwa shahabat yang menerangkan jenis
sumber dan dasar hukum
Islam dan rutbahnya.
5. Tentang
dasar hukum
islam itu telah terjadi ijma’ dikalangan para sahabat, yang telah sepakat
menetapkan wajib al-ittiba’ (taa) terhadap Hadits, baik pada masa rosulullah
masih hidup maupun sesudah wafat. Di waktu rosulullah masih hidup, para sahabat
konsekuen melaksanakan hokum-hukum rosul, mematuhi peraturan dan meninggalkan
larangan-larangannya. Sepeninggal Rosulullah SAW, para sahabat seperti Abu
bakar bila tidak menjumpai ketentuan dalam Hadits, atau tidak ingat akan
sesuatu ketentuan dalam Hadits Nabi, ia selalu menanyakan kepada siapa yang
mengingatnya. Umar dan sahabat yang lain meniru tindakan Abu Bakar tersebut.
Atas tindakan para Khulafa ar-rasyidin tersebut tidak ada seorangpun dari
sahabat dan tabi’in yang mengingkarinya. Karenanya hal demikian itu adalah
ijma’.
6. Al-Syatibi
dalam al-Muwafaqatnya, menerangkan bahwa al-Qur an dan Hadits sebagai dasar
hokum Islam dan rutbah Hadits dibawah rutbah al-Qur an oleh karena:
a. Al-Qur
an diterima dengan jalan Qath’I, global dan detailnya diterima dengan
meyakinkan, sedangkan Hadits diterima dengan jalan Zhan, keyakinan kepada
Hadits anya sebatas global, bukan secara detail.
b. Hadits
adakalanya menerangkan sesuatu yang mujmal dari al-Qur an, adakala menyarahkan
al-Qur an, bahkan mendatangkan yang belum didatangkan oleh al-Qur an.
Ketika
hadits bersifat bayan atau syarah, tentu keadaan keduanya tidak sama dengan
derajat pokok yang dijelaskannya. Nash yang bersifat pokok dipandang sebagai
azas, yang bersifat syarh dipandang sebagai cabang, sedangkan jika bersifat
mendatangkan (suatu hokum) yang tidak didatangkan al-Qur an, tiadalah diterima
kalau berlawanan dengan apa yang ada dalam al-Qur an, namun diterima kalau yang
didatangkan itu tidak ada dalam al-Qur an.
7. Dari
segi kewahyuan diketahui, bahwa al-Qur an dan Hadits adalah wahyu, baik dalam
arti al-Iha maupun dalam arti al-Muhabih.
Hadits
merupakan bagian dari wahyu, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT :
“dan tiadalah yang diucapkan itu
menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)” (QS. An-najm, 53:3).
Wahyu
dalam makna al-Iha berarti penyampaian sesuatu pengetahuan dengan cara
tersembunyi dan cepat, yakni penyampaian Syari’at oleh Allah kepada Nabi dengan
jalan tersembunyi, yang menghasilkan ilmu yang qath’I datangna dari Allah SWT.
Penyampaian informasi dari
Allah SWT dalam al-Qur an:
“dan
tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. As-syura, 42:52).
a.
Penyampaian
dengan jalan ilham, yaitu memberikan makna pada hati Nabi SAW secara cepat
dengan ilmu yakni bahwasanya hal itu dari Allah SWT, pemberianya terkadang saat
tidur dan terkadang saat terjaga. Penyampaian seperti itu adalah maksud dari
kalimat “illa wahyan” pada ayat di
atas.
b.
Pembicaraan
dibelakang hijab atau tanpa sepengetahuan Nabi bahwa itu adalah Allah, saat
berfirman dan yang ada terdengar kalimat-kalimat-nya. Seperti contoh, pemberian
wahyu pada Nabi Musa AS atau pada saat Nabi Muhammad SAW mi’raj dan menerima
perintah shalat.
c.
Penyampaian
informasi Allah bagi Nabi melalui pelantaraan Malaikat dalam keadaan tidur
maupun terjaga. Malaikat pada saat itu berwujud dirinya sendiri atau menyerupai
manusia. Terkadang Nabi tidak melihat apa-apa dan yang terdengar hanyalah kerasnya gemerincing suara.
Wahyu dalam pengertian
al-Mubahih terbagi kepada Matlu dan ghair Matlu.
a.
Matlu
(dapat dibaca), yaitu al-Qur an yang Allah jadikan sebagai mukjizat dan hujjah
bagi Nabi Muhammad SAW dan dia menjaganya dari perubahan serta penyimpangan
sampai hari kiamat (QA. Al-Hijr : 9). Diturunkan melalui jibril dalam bentuk
lafazh serta maknanya, tidak memungkinkan bagi seorangpun untuk
mempengaruhinya, karena ia diturunkan dari Allah SWT (QS. As-Syu’ara: 193). Dan
ijma’ ulama menyebutkan bahwa al-Qur an diturunkan oleh Allah WT melalui
pelantaraan Malaikat jibril dalam keadaan terjaga dan tidak melalui cara
penyampaian wahyu lainnya.
Salah satu
kekhususan al-Qur an adalah berupa ibadah bagi yang membacanya pada saat shalat
dan di luar itu, dan tak seorangpun untuk meriwayatkannya secara makna, karena
lafazh dan maknanya adalah Mukjizat.
b.
Ghairu
Matlu Bih (tidak dapat dibaca dengannya), yaitu hadits atau as-sunah
an-nabawiyah, berdasrkan pada firman allah:
“dan
tiadalah yang diucapkan itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-najm, 53:3).dan “barang
siapa yang mematuhi rosul maka sudah mematuhi Allah…..”, dan sebagainya.
Hadits memang berbeda dengan al-Qur an, ia diturunkan
dengan makna serta lafazh dari Nabi Muhammad SAW sehingga umat boleh
meriwayatkannya secara makna yang pernah diriwayatkan oleh para ulama. Lafazh
as-sunah bukanlah mukjizat dan tidak menjadi ibadah bagi yang membacanya. Namun
secara umum, karena Hadits berisikan ajaran Islam, maka wajib untuk dipelajari.
C. Hadits Sebagai Bayan Al-Qur an
Umat
islam mengambil hukum-hukum
Islam dari al-Qur an yang diterima dari Nabi Muhammad SAW dan itu kerap kali
al-Qur an membawa keterangan-keterangan yang bersifat mujmal, tidak Mufashal;
kerap kali membawa keterangan yang bersifat mutlaq, tidak muqayyad. Perintah
shalat, al-Qur an menjelaskan secara mujmal sekali, tidak menerangkan jumlah
raka’atnya, tidak menerangkan syaratnya, rukun dan kaifiatnya.
Memang
banyak hukum dalam al-Qur an yang tidak bisa dijalankan bila tidak diperoleh syarh atau penjelas yang
berpautan dengan syarat-syarat, rukun-rukunnya, batal-batalnya dan lain-lain
dari Hadits Nabi Muhammad SAW. dalam pada itu banyak pula kejadiankejadian yang
terjadi yang tak ada nash yang menaskhkan hukumnya dalam al-Qur an yang tegas
terang. Dalam hal ini lebih-lebih lagi diperlukan ketetapan Nabi yang diakui
sebagai utusan Allah untuk menyampaikan syari’at dan undang-undang islam kepada
umat.
Firman
Allah SWT:
“dan telah kami turunkan kepada
engkau adz-dzikir untuk engkau terangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka suka berfikir” (QS. An-nahl: 44).
Firman
Allah SWT:
“sungguh Allah telah melimpahkan
Nikmat-nya atas para mukmin karena Allah telah membangkitkan dalam kalangan
mereka seorang Rosul dari diri mereka sendiri yang membacanya ayat-ayat Allah
dan mereka, serta mengajari mereka kitab dan hikmat walaupun mereka dahulunya
dalam sesat yang nyata” (QS. Ali-Imran : 164).
Jumhur
ulama dan ahli tahqiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hikmat dalam ayat
ini ialah keterangan-keterangan agama yang diberikan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW mengenai hikmat dan hukum
yang dinamai sunnah atau hadits.
Hadis
adalah sumber yang kedua dari hokum-hukum islam, menerangkan segala yang dikehendaki al-Qur an, sebagai
penjelas, penyesah, penafsir, pengqayid, pentakhsis dan yang mempertanggungkan
kepada yang bukan hahirnya.
Para ulama, baik ahl al-ra’y maupun ahl al-atsar sepakat
menetapkan, bahwa hadits berkedudukan dan berfungsi untuk
menyarahkan dan menjelaskan al-Qur an. Akan tetapi para ulama ahl
al-ra’y memberi batasan penjelasan-penjelasan Hadits yang diperlukan, sedangkan
ahl al-atsar melebarkan lapangan penjelasan itu.
Menurut fuqaha ahl al-ra’y, sesuatu titah al-Qur an yang
khas madlulnya tidak memerlukan lagi penjelasan hadits. Hadits yang datang
mengenai titah itu ditolak, yang
demikian itu hukumnya menambah sehingga tidak diterima, kecuali kalau sama
kekuatannya dengan ayat itu.
Fuqaha ahl al-atsar berpendapat, segala Hadits yang
shahih mengenai masalah yang telah
diterangkan al-Qur an harus dipandang menjelaskan al-Qur an, mentakhshihkan
umum al-Qur an, mengqayyidkan mutlaq al-Qur an.
Sandaran ahl al-ra’y dalam hal ini adalah Abu bakar,
‘Umar dan Aisyah;
1. Abu bakar pernah mengumpulkan para sahabat dan menyuruh
menolak Hadits yang berlawanan dengan al-Qur an.
2. ‘Umar pernah menolak Hadits Fatimah binti Qais yang
menerangkan, bahwa istri yang ditalak habis tidak berhak diberikan nafkah dan
tempat, karena berlawanan dengan zhahir ayat surat at-ahalaq. Menurut zhahir
ayat, setiap wanita yang ditalak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal
selama masa iddah. Umar berkata: “saya tidak mau meninggalkan Kitab Allah
lantaran berita seorang wanita yang boleh jadi benar dan boleh jadi salah”.
3. ‘Aisyah menolak Hadits yang menerangkan bahwa orang mati
yang disiksa dengan sebab tangisan keluarganya, dengan mengemukakan ayat:
“tiada
menanggung seseorang akan kesalahan orang lain” (QS. Al-an’am: 103).
Selanjutnya lebih jauh secara terperinci diungkapkan
pendapat para ulama tentang fungsi Hadits sebagai dasar Hukum Islam dan fungsi
Hadits sebagai penjelas, interpretasi dan bayan terhadap al-Qur an sebagai
berikut:
1. Menurut ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanifah):
a.
Bayan
Taqrir
Bayan taqrir atau sering disebut juga dengan bayan
at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh
dan memperkuat pernyataan al-qur an. Dalam hal ini, hadits hanya berfungsi
untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur an.
Contoh:
“....karena
itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa.....”(QS.al baqarah [2]: 185)
Ayat diatas ditaqrir oleh Hadits Nabi SAW, yaitu:
“....apabila
kalian melihat (ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat
(ru’yat) bulan itu, berbukalah....” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Contoh lainya
adalah QS. Al-maidah [5]:6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yaitu:
“hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan sikut, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki,....”(QS. Al-maidah [5]:6).
Ayat al-Qur an di atas ditaqrir oleh Hadits Nabi SAW,
yakni :
rosulullah
SAW bersbda,”tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia
berwudlu”.(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
b.
Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Fungsi hadits dalam hal ini
adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur
an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayatyang masih muthlaq, dan
memberikan takhshih ayat-ayat yang masih umum.
Diantara contoh bayan tafsir mujmal adalah seperti hadits
yang menerangkan ke-mujmal-lan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk
mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat al-Qur an yang menjelaskan
tentang ibadah tersebut masih bersifat global atau garis besarnya saja.
Contohnya jika diperintahkan shalat, namun al-Qur an tidak menjelaskan
bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu
pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh
Nabi SAW. Dengan sabdanya:
“shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Diantara contoh-contoh bayan tafsir musytarak fihi,
adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT berfirman :
“wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh
mereka mentembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka
beriman kepada allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalamm masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. Al-baqarah [2]: 228)
Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini, datanglah Hadits Nabi
SAW berikut ini:
Talak
budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid. (HR.ibnu majah)
Sehingga arti perkataan quru’ dalam ayat al-Qur an Surat
Al-Baqarah :228 berarti suci dari haid.
Contoh lainnya dalam QS. Al-maidah : 38
”laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Ayat yang bersifat muthlaq diatas ditaqyid oleh Hadits
Nabi SAW, yakni:
Tangan
pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat
dinar atau lebih. (HR. Mutafaq “alaih menurut lafazh Muslim)
Contoh lainya dalam QS. An-nisa : 11
Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian puska tentang) anak-anakmu. Yaitu
bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. Am-nisa
[4]:11)
Ayat yang bersifat umum diatas ditakhshis oleh Hadits
Nabi SAW, yakni :
Pembunuh
tidak berhak menerima harta warisan. (HR. Ahmad)
c.
Bayan
Naskh
Secara bahasa, an-nasakh bisa berarti al-ibthal
(membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau
at-tagyir (mengubah).
Para ulama, baik mtaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda
pendapat dalam mendefinidikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena
perbedaan diantara mereka dalam mendefinisikan bayan an-naskh dari segi
kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan
an-naskh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertin
tersebut, menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-naskh, dapat
dipahami bahwa Hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi al-Qur an yang datang kemudian.
Diantara ulama yang membolehkan adanya naskh hadits
terhadap al-qur an, juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang bisa dipakai
untuk men-naskh Al-Qur an. Dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok.
Pertama, yag membolehkan men-naskh al-qur an dengan segala
hadits, meskipun hadits ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oloeh para
ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriah.
Kedua, yang membolehkan men-naskh al-qur an dengan syarat
hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh
Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan men-naskh dengan hadits masyhur,
tanpa harus dengan mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama
hanafiah.
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama
adalah sabda Rosulullah SAW dari Abu Umamah Al-Bahili,
Sesungguhnya
allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka,
tidak ada wasiat gagi ahli waris. (HR. Ahmad dan Al-‘Arba’ah, kecuali
an-nasa’i. Hadits ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-tirmidzi)
Hadits ini menurut mereka men-naskh isi al-qur an surat
Al-baqarah [2]: 180, yakni :
Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS.
Al-Baqarah [2]: 180).
Kewajiban melakukan wasiat
kepada kaum kerabat dekat berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 180 di atas, di-
naskh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh
dilakukan wasiat.
2. Menurut Malik:
a.
Bayan
Taqrir; menetapkan dan mengokohkan hukum al-Qur an.
“berpuasalah
kamu setelah melihat bulan dan berbukalah kamu setelah melihatnya”.(HR. Mutafaq
‘alaih)
b.
Bayan
Tafsir; menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yang menerangkan
maksud ayat yang dipahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksud
oleh ayat sendiri. Seperti ayat:
“dan
segala mereka yang membendaharakan emas dan perak dan tiada mereka
membelanjakan pada jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan adzab yang amat
pedih” (QS. At-taubat: 34)
Waktu ayat ini
diturunkan para sahabat merasa sangat berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka
bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, maka Nabi menjawab : “allah tidak mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah kamu zakati”. Mendengar sabda tersebut, ‘Umar
mengucapkan takbir.
Penjelasan ini masuk kedalam bayan Tafsir,
yaitu menentukan salah satu
kemuhtamilan, mengqayidkan yang muthlaq dan mentakhshiskan yang umum.
c.
Bayan
Tafshil; menjelaskan kemujmalan al-Qur
an, seperti hadits yang mentafshilkan kemujmalan tentang shalat:
“dirikanlah
olehmu shalat”.
d.
Bayan
Bashthi (tasbith atau ta’wil);
memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur
an, seperti ayat:
“dan
atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal ditempat yang tidak turut
pergi ke medan perang” (QS. At-taubah: 118).
Kisah yang dimaksudkan oleh ayat ini telah diterangkan
oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi,
an-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sebab Nabi SAW mencegah orang berbicara dengan
orang yang tiga itu.
e.
Bayan
Tasyri’; mewujudkan hukum yang tidak tersebut dalam al-Qur an, seperti
menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila mudda’i
tidak mempunyai dua orang saksi; dan seperti radha’ah (saudara sepersusuan)
mengharamkan pernikahan antara keduanya, mengingat ada hadits yang mengatakan:
“haram
lantaran radha’ apa yang haram lantaran nasab (keturunan)”.(HR. Ahmad dan Abu
Daud).
3. Menurut syafi’i
a.
Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat mujmal, yang
sangat ringkas petunjuknya.
b.
Bayan
Takhshish, menentukan sesuatu dari umumnya ayat.
c.
Bayan
Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang
mungkin dimaksud.
d.
Bayan Tasyri’, menetapkan hukum yang
tiada didapati dalam al-Qur an secara
tekstual.
e.
Bayan Nasakh, menentukan mana
yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur an
yang kelihatan berlawanan.
4. Menurut Ahmad ibn Hambali:
a.
Bayan
Taqrir, menerangkan apa yang dimaksudkan
oleh al-Qur an apabila Hadits itu sesuai petunjuknya dengan petunjuk al-Qur an.
b.
Bayan
Tafsir, menjelaskan suatu hukum al-Qur an dengan menerangkan apa yang dimaksud
oleh al-Qur an.
c.
Bayan
Tasyri’, mendatangkan suatu hukum yang didiamkan oleh al-Qur an, yang tidak
diterangkan hukumnya.
d.
Bayan
Takhshish dan taqyid, mengkhususkan al-Qur an dan mengqayidkannya.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa hadits
merupakan dasr juga bagi hukum-hukum islam setelah al-Qur an. Umat Islam harus
mengikuti petunjuk Hadits sebagaimana dituntut ;mengikuti petunjuk al-Qur an.
Yang dimaksud mengikuti Rosul SAW atau melaksanakan
perintahnya dan meninggalkan larangannya adalah dengan mengikuti Sunnahnya atau
Haditsnya, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebaainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar