MAKALAH OTONOMI DAERAH
By: Yana Mulyana, Babakan Tipar-Bojong Bungbulang
BAB II
PEMBAHASAN
- Otonomi Daerah
1.
Pengertian
Otonomi Daerah
Reformasi membuka jalan bagi setiap orang maupun daerah untuk
menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan
pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun
ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa
ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain kesenjangan pendapatan antar daerah
yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah yang dikuasai
pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi yang terpusat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah satu
alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumber daya
alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan rakyat.
Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam
arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud di sini adalah
pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri
atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir
demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen
administrasi/manajemen yang digunakan utnuk mengoptimalkan sumber daya lokal,
sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di
daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan
mengembangkan demokrasi.
2. Latar Belakang Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997
telah memporak- porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik
negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan
politik, yang berlanjut menjadi multikrisis, telah mengakibatkan semakin
rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan
pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen
negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan
segaal sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara
daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengoleola dan mengatur daerahnya.
Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi
dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup
penting yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan
antarpusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen pemerintahan yang
berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi daerah,
yang tidak dapat dilepaskan dari upaya politik pemerintah pusat untuk merespon
tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayah, yang memiliki
aset sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara
proporsional pada masa pemerintahan Orde Baru.
Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan
pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan
kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin penanganan tuntutan
masyarkat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan
terhadap otonomi daerah di Indonesia saat itu dirasakan mendesak.
1.
Kehidupan
berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta
centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Hal
ini bisa terlihat bahwa hampir 60% lebih perputaran berada di Jakarta,
sedangkan 40% digunakan untuk di luar Jakarta. Dengna penduduk sekitar 12 juta
di Jakarta, maka ketimpangan sangat terlihat, karena daerah di luar jakarta
dengan penduduk hampir 190 juta hanya menggunakan 40% dari perputaran uang
secara nasional. Selain itu, hampir seluruh proses perizinan investasi juga
berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta.
2.
Pembagian
kekayaan dirasakan tidak adil dan tidak merata. Daerah-daerah yang memiliki
sumber kekayaan alam melimpah berupa minyak, hasil tambang, dan hasil hutan,
seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima
perolehan dana yang layak dari Pemerintah Pusat, dibandingkan dengan daerah
yang relatif tidak memiliki banyak sumber daya alam.
3.
Kesenjangan
sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain
sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah terutama Jawa, berkembang pesat
sekali. Sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban, dan bahkan
terbengkalai. Kesenjangan sosial ini juga meliputi tingkat pendidikan dan
kesehatan keluarga.
3.
Tujuan dan
Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa
ahli adalah sebagai berikut:
a. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan
otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun
masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan,
dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
b.
Dilihat dari
segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
c.
Dilihat dari
segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian
lebih fokus kepada daerah.
d.
Dilihat dari
segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom
selanjutnya disebut dengan daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah dibentuk
undang-undang organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945. Undang-undang
tersebut adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang ini menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 merupakan pengganti dari
Undnag-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah,
yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota.
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada otonomi
yang nyata, luas, dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata adalah kekuasaan
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang
secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah.
Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan pada
bidang-bidang tertentu yang masih ditangani dan terpusat oleh pemerintah pusat
di Jakarta.
Kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang
mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai
bidang, misalnya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, perumahan, pertanian,
perdagangan, dan lain- lain. Pemerintah pusat hanya menangani enam urusan saja:
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat
dan Daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4.
Kaitan Otonomi
Daerah dengan Wawasan Nusantara
Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola
dan mendapatkan potensi sumber-sumber daya alamnya sesuai dengan proporsi daya
dukung yang dimiliki oleh daerahnya. Dengan demikian, tidak ada kecemburuan dan
ketidakadilan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah. Sedangkan Wawasan Nusantara menghendaki
adanya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah nasional. Pandangan untuk tetap
perlunya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah ini merupakan modal berharga
dalam melaksanakan pembangunan. Wawasan Nusantara juga mengajarkan perlunya
kesatuan sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya, dan
sistem pertahanan-keamanan dalam lingkup negara nasional Indonesia. Cerminan
dari semangat persatuan itu diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan.
Namun demikian semangat perlunya kesatuan dalam berbagai aspek
kehidupan itu jangan sampai menimbulkan negara kekuasaan. Negara menguasai
segala aspek kehidupan bermasyarakat termasuk menguasai hak dan kewenangan yang
ada di daerah-daerah di Indonesia. Tiap-tiap daerah sebagai wilayah (ruang
hidup) hendaknya diberi kewenangan mengatur dan mengelola sendiri urusannya
dalam rangka mendapatkan keadilan dan kemakmuran.
Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan otonomi daerah atau
dengan kata lain otonomi daerah tidak bertentangan dengan prinsip wawasan
nusantara. Otonomi dan desentralisasi adalah cara atau strategi yang dipilih
agar penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bisa menciptakan
pembangunan yang berkeadilan dan merata di seluruh wilayah tanah air.
Pengalaman penyelenggaraan bernegara yang dilakukan secara tersentralisasi
justru banyak menimbulkan ketidakadilan di daerah. Keadilan adalah prasyarat bagi
terwujudnya persatuan bangsa sebagaimana hakikat dari Wawasan Nusantara.
Sebagai
suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, negara Indonesia memiliki konstitsi
atau undang-undang, dasar yang menjamin setiap warganya untuk hidup sesuai
dengan hak-haknya dan berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, serta mengatur
semua permasalahan, tujuan diproklamasikannya negara ini tercermin dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV, yang menyebutkan:
“Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.”
Ketentuan
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 tersebut, menjelaskan bahwa negara
Indonesia harus berupaya untuk menjungjung tinggi hak-hak rakyat dan mewujudkan
aspirasi rakyat. Sebab, kedaulatan negara ini pada hakikatnya berada pada
rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut, pelayanan terhadap rakyatnya tidak
terpusat pada suatu pemerintahan (pemerintah pusat), tetapi harus di
distribusikan pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, dibentuklah
daerah-daerah. Hal ini di atur dalam pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen, yaitu
sebagai berikut:
Pasal 18
1)
Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2)
Pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3) Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4)
Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan
kota dipilih secara demokratis.
5)
Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6)
Pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7)
Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
8)
Pasal
18A
9)
Hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kehususan dan beragam daerah.
10) Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
11)
Pasal
18B
12) Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat husus
atau sifatnya istimewa yang diatur dengan undang-undang.
13) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarkat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Pembentukan
pemerintah daerah ini bertujuan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam
pelayanan kepada masyarakat.[1]
Bung Hatta menjelaskan bahwa wujud kedaulatan rakyat sebagai pernyataan dari
pemerintahan rakyat ialah rakyat dalam keadaan sepenuhnya atau dalam
bagian-bagiannya memerintah dirinya sendiri. Akan tetapi kedaulatan yang
dilakukan oleh rakyat daerah bukanlah kedaulatan yang keluar dari pokoknya,
melainkan kedaulatan yang datang dari kedaulatan rakyat yang paling atas.
Dengan demikian, kedulatan yang dimiliki oleh rakyat daerah tidak boleh
bertentangan dengan garis-garis besar yang telah ditetapkan dalam garis-garis haluan
negara.[2]
Otonomi
yang diselenggarakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling tidak,
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut:
1. Keragaman
bangsa Indonesia dengan sifat-sifat istimewa pada berbagai golongan, tidak
memungkinkan pemerintahan diselenggarakan secara seragam.
2. Wilayah
Indonesia yang berpulau-pulau dan luas dengan segala pembawaan masing-masing,
memerlukan cara penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari
berbagai pulau tersebut.
3. Desa
dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu sendi yang ingin
dipertahankan dalam susunan pemerintahan negara.
4. Pancasila
dan UUD 1945 menghendaki suatu susunan pemerintahan yang demokratis.
5. Desentralisasi
adalah salah satu cara mewujudkan tatanan demokratis tersebut.
6. Efisiensi
dan efektifitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Republik Indonesia
yang luas dan penduduk yang banyak dan beragam memerlukan suatu cara
penyelenggaraan pemrintahan negara yang menjamin efisiensi dan efektifitas.
Dengan membagi-bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam satuan-satuan yang lebih
kecil (desentralisasi), efisiensi dan efektifitas tersebut dapat tercapai.[3]
Menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, daerah otonom dibagi menjadi 3 pola
daerah, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota. Disamping sebagai daerah otonom,
provinsi ditetapkan sebagai daerah administratif dalam rangka desentralisasi.
Oleh karena itu, gubernur memiliki peranan ganda, yaitu gubernur sebagai kepala
daerah, dan juga sebagai perangkat atau wakil pemerintahan pusat. Hal ini
tercantum dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2014 pasal 2 ayat (1) berikut:
“Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah.”
Hubungan
antara daerah otonom dan pemerintah (pusat) merupakan hubungan antar
organisasi, bahkan hubungan intra organisasi. Adapun hubungan antar daerah
otonom merupakan hubungan yang setara, tidak bersifat hierarkis.[4]
Hubungan
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang menurut
Undang-Undang No 5 tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat didaerah, berdasarkan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) mengambil tanggung
jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum pada masyarakat setempat, untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kepentingan masyarakat
setempat. Dengan kata lain, menerapkan otonomi daerahnya.
Otonimi
atau autonomi berasal dari bahasa Yunani, “auto” yang berarti sendiri dan “nomous”
yang berarti hukum atau peraturan.[5]
Dengan demikian, otonomi adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan
pemerintahan, yang dituangkan dalam perturan sendiri, sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun daerah
otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup
dalam otonomi, yaitu hak wewenang untuk memanajmeni daerah, dan tanggung jawab
terhadap kegagalan dalam memanajemeni daerah tersebut. Adapun daerah dalam arti
local state goverment adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat.[7]
Dengan
adanya otonomi, daerah diharapkan akan lebih mandiri dalam melakukan seluruh
kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan mampu tidak terlalu aktif mengatur
daerah.[8]
Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang
memajukan daerah tanpa interpensi dari pihak lain, yang disertai dengan
pertanggung jawaban publik (masyarakat daerah), serta pertanggung jawaban pada
pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam negara kesatuan (unitarisme), otonomi daerah ini diberikan kepada
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya
menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah
di negara federal, yang otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian
sehingga urusan yang dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya dalah
urusan yang diserahkan oleh negara bagian.[9]
- Desentralsasi
Sistem
penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua
bentuk[10],
yaitu sebgai berikut:
1.
Negara Kesatuan dengan
Sistem Sentralisasi, yaitu segala sesuatu dalam negara itu langsung dan diurus
oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakannya
saja.
2.
Negara Kesatuan dengan
Sistem Desentralisasi, yaitu daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan
daerah otonom (suatantra).
Desentralisasi
adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan
(power), biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga
pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah.[11]
Dalam Encyclopedia Of The Sosial Scince, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang
lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif, maupun
administratif. Dalam ensiklopedia tersebut, dikemukakan bahwa desentralisasi
adalah kebalikan dari sentralisasi tetapi jangan dikacaukan dengan pengertian
dekonsentrasi, sebab istilah ini secara umum lebih diartikan sebagai
pendelegasian dari atasan kepada bawahannya untuk melakukan suatu tindakan atas
nama atasannya tanpa melepaskan wewenang dan tanggung jawabnya.[12]
Sedangkan desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah
transfer/pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada
masyarakat dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara
desentralisasi menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses
pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat (7), desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintahan tersebut adalah wewenang yang
diserahkan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan pemerintahan daerah hanya
melaksanakan wewenang yang diberi oleh pemerintah pusat sesuai dengan aspirasi
masyarakat daerahnya, walaupun sebenarnya daerah diberikan kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kewenangan
daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan yang dikecualikan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 ini,
sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan piskal
nasional, dan agama.
Tujuan
utama desentralisasi adalah :
1.
Tujuan politik, yang
ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk
terwujudnya stabilitas politik nasional.
2.
Tujuan ekonomis, yang
dimaksud untuk menjamin bahwa pembagunan akan dilaksanakan secara efektif dan
efisien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.[13]
C.
Dekonsentrasi
Selain asas desentralisasi, daerah otonom dalam hal ini daerah
provinsi menganut pula asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi adalah asas yang
menyatakan adanya pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu. Menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan
penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk).
Kehadiran dekonsentrasi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan
pemerintahan sentral di Daerah.
Berdasarkan pendapat di atas, maka pada dasarnya dekonsentrasi itu
dilaksanakan untuk memudahkan tugas-tugas Pemerintah (pusat) yang
diselenggarakan di Daerah. Oleh karena itu menurut Bagir Manan: Dekonsentrasi
adalah unsur sentralisasi. Karena semata-mata ” ambelijk ” maka dekonsentrasi
dalam ilmu hukum terletak dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara ( Administratiefrecht
bukan Staatrecht).
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai hubungan yang
sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas pemerintahan, pemerintah pusat
dapat menyerahkan urusan-urusan pemerintahannya kepada daerah secara
dekonsentrasi, yaitu urusan-urusan pemerintahan yang diserahkannya ini tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan
realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi,
dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala
SKPD provinsi bertanggung jawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi. Kepala
SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung
jawab atas pelaksanaan dana dekonsentrasi.
Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah tidak semua
urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas
desentralisasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakan asas dekonsentrasi ini
diantaranya adalah :
1.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
2.
Terpeliharanya
komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem
administrasi negara;
3.
Terpeliharanya keserasian
pelaksanaan pembangunan nasional;
4.
Terpeliharanya
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;[14]
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah, yang
meliputi:
1.
Pelimpahan
wewenang dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain
dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal;
2.
Pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang lebih tinggi
tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintah yang lebih rendah,
disebut dekonsentrasi vertical.
3.
Dalam rangka
pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi dalam wilayah-wilayah provinsi dan ibukota Negara.wilayah provinsi
dibagi ke dalam wilayah-wilayah kabupaten dan kota.kemudian, wilayah-wilayah
kabupaten dan kota dibagi dalam wilayah kecamatan. Penerapan asas dekonsentrasi
ini disebut dekonsentrasi teritorial.[15]
Suatu
hal yang esensial dalam pelaksanaan dekonsentrasi adalah urusan atau wewenang
yang dilimpahkan itu sepenuhnya menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat,
sedangkan yang dilimpahi itu semata-mata sebagai pelaksana saja.
Undang-Undang No 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 8 menjelaskan makna
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah atau kepada instansi vertical diwilayah
tertentu.
Dengan
demikian, dekonsentrasi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan
daerah, dalam hal ini provinsi, hanya diberi wewenang karena kedudukannya
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, gubernur selain
pelaksana desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi
dekonsentrasi harus dekat dengan kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai
upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan
pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta kesadaran
nasional.
D.
Tugas
pembantuan
Tugas
pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau
pemerintah daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi
wewenang pemerintah atau provinsi.[16]
Pemerintah atau provinsi yang menugaskan ini menyusun rencana kegiatan, atau
kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya, sedangkan daerah yang ditugasi
sekadar melaksanakannya, tetapi wajib untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugas itu.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem
dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan
diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat
dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.
Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan
pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar
pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan
pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. Tugas
pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi
sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau
desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan
dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan
yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian
tugas-tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang
kabupaten/kota.
Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan
tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau
pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah
provinsi, juga dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah
kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan
pemerintahan provinsi, serta, Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas
pembantuan kepada pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan
kabupaten/kota.
Menurut
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat (9), tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintahan pusat kepada daerah dan/ atau desa, dari
pemerintahan provinsi kepada kabupaten/ kota dan/ atau desa, serta dari
pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Berdasarkan
hal tersebut, hakikat tugas pembantuan adalah sebagai berikut.
1.
Tugas pembantuan adalah tugas membantu
menjalankan urusan pemerintahan dalam tahap implentasi kebijakan yang bersifat
operasional
2.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugas
pembantukan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya.
3.
Kewenangan yang dapat di tugas pembantuan
adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat
delegatif tidak di tugas pembantuan pada institusi lain.
Kewenangan
ini terdiri atas :
a. Kewenangan
atributif adalah kewenangan yang melekat pada satuan pemerintahan atas dasar
peraturan perundangan- perundangan yang membentuknya
a. Kewenangan
degelatif adalah kewenangan yang di delegasikan dari satua pemerintah yang
lebih besar kepada satuan pemerintah yang lebih kecil. Kewenangan delegatif
tidak dapat didelegasikan kepada pemerintah lainnya karena bukan kewenangan
yang melekat pada satuan pemerintah yang bersangkutan.
4.
Urusan pemerintah yang ditugasbantukan
tetap menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya
5.
Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana
dan prasarana serta sumber daya manusia disediakan oleh institusi yang
menugaskannya
6.
Kegiatan operasional diserahkan
sepernuhnya pada institusi yang diberi penugasan, sesuai dengan situasi,
kondisi, serta kemampuannya
7.
Intitusi yang menerima penugasan
diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang
dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan.[17]
Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan, maksud dan tujuan adanya tugas pembantuan adalah :
1.
Meningkatkan efensiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahaan, pengelolaan pembangunan, serta pelayanan umum
2.
Memperlancar pelaksanaan tugas dan
penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah
dan desa
[1] HAW. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, op, cit.,
hlm. 22.
[2] Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993, hlm.28.
[3] Laporan
Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Penyusunan Konsep Model Titik Berat
Otonomi Pada daerah Tingkat Dua Diprovinsi Tingkat I Jawa Barat, 1986, Hlm.29.
[4] HAW, Widjadja,
ep. Cit., hlm. 93.
[5] Sarundajang, Arus Balik Kekasaan Pusat ke Daerah, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta 2000, hlm. 33.
[6] Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat (5-6).
[7] Riant Nugroho
Dwidjowijoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi
Tanpa Revolusi, Eleks Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 46.
[8] HAW. Widjadja,
Op. Cit ; hlm. 7.
[9] Sarundajang, op. Cit., hlm. 32.
[10] Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 3.
[11] Ibid.,hlm. 19.
[12] Sarungdajang, Op. Cit., hlm. 46.
[13] Tjahya
Supriatna, Sistem Administrasi
Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 21.
[14] Dadang Solihin
dan Putut Mahyadi, Panduan Lengkap Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002,
hlm. 6.
[15] Tjahya Supriatna,
op. Cit., hlm. 77.
[16] Ibid., hlm.78.
[17] Sadu
Wasistiono, Kapitaselekta Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung, 2003, hlm. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar