Minggu, 07 Agustus 2016

MAKALAH OTONOMI DAERAH


MAKALAH OTONOMI DAERAH

By: Yana Mulyana, Babakan Tipar-Bojong Bungbulang



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Otonomi Daerah
1.      Pengertian Otonomi Daerah 
Reformasi membuka jalan bagi setiap orang maupun daerah untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun ternyata telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan rakyat. 
Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud di sini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. 
Jadi, otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrumen politik dan instrumen administrasi/manajemen yang digunakan utnuk mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan demokrasi.
2.      Latar Belakang Otonomi Daerah 
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak- porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik, yang berlanjut menjadi multikrisis, telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan segaal sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengoleola dan mengatur daerahnya. 
Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah. Paradigma lama dalam manajemen pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi daerah, yang tidak dapat dilepaskan dari upaya politik pemerintah pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayah, yang memiliki aset sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara proporsional pada masa pemerintahan Orde Baru. 
Otonomi daerah dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab dapat menjamin penanganan tuntutan masyarkat secara variatif dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap otonomi daerah di Indonesia saat itu dirasakan mendesak. 
1.      Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Hal ini bisa terlihat bahwa hampir 60% lebih perputaran berada di Jakarta, sedangkan 40% digunakan untuk di luar Jakarta. Dengna penduduk sekitar 12 juta di Jakarta, maka ketimpangan sangat terlihat, karena daerah di luar jakarta dengan penduduk hampir 190 juta hanya menggunakan 40% dari perputaran uang secara nasional. Selain itu, hampir seluruh proses perizinan investasi juga berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. 
2.      Pembagian kekayaan dirasakan tidak adil dan tidak merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah berupa minyak, hasil tambang, dan hasil hutan, seperti Aceh, Riau, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang layak dari Pemerintah Pusat, dibandingkan dengan daerah yang relatif tidak memiliki banyak sumber daya alam. 
3.      Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah terutama Jawa, berkembang pesat sekali. Sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban, dan bahkan terbengkalai. Kesenjangan sosial ini juga meliputi tingkat pendidikan dan kesehatan keluarga. 

3.      Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah 
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut: 
a.       Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. 
b.      Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mencapai pemerintahan yang efisien. 
c.       Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah. 
d.      Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing. 
Yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah otonom selanjutnya disebut dengan daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah dibentuk undang-undang organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 merupakan pengganti dari Undnag-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. 
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah, yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota.
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan pada bidang-bidang tertentu yang masih ditangani dan terpusat oleh pemerintah pusat di Jakarta. 
Kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai bidang, misalnya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, perumahan, pertanian, perdagangan, dan lain- lain. Pemerintah pusat hanya menangani enam urusan saja: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. 
Adapun yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
4.      Kaitan Otonomi Daerah dengan Wawasan Nusantara 
Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola dan mendapatkan potensi sumber-sumber daya alamnya sesuai dengan proporsi daya dukung yang dimiliki oleh daerahnya. Dengan demikian, tidak ada kecemburuan dan ketidakadilan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah.  Sedangkan Wawasan Nusantara menghendaki adanya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah nasional. Pandangan untuk tetap perlunya persatuan bangsa dan keutuhan wilayah ini merupakan modal berharga dalam melaksanakan pembangunan. Wawasan Nusantara juga mengajarkan perlunya kesatuan sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem budaya, dan sistem pertahanan-keamanan dalam lingkup negara nasional Indonesia. Cerminan dari semangat persatuan itu diwujudkan dalam bentuk negara kesatuan. 
Namun demikian semangat perlunya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan itu jangan sampai menimbulkan negara kekuasaan. Negara menguasai segala aspek kehidupan bermasyarakat termasuk menguasai hak dan kewenangan yang ada di daerah-daerah di Indonesia. Tiap-tiap daerah sebagai wilayah (ruang hidup) hendaknya diberi kewenangan mengatur dan mengelola sendiri urusannya dalam rangka mendapatkan keadilan dan kemakmuran. 
Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan otonomi daerah atau dengan kata lain otonomi daerah tidak bertentangan dengan prinsip wawasan nusantara. Otonomi dan desentralisasi adalah cara atau strategi yang dipilih agar penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bisa menciptakan pembangunan yang berkeadilan dan merata di seluruh wilayah tanah air. Pengalaman penyelenggaraan bernegara yang dilakukan secara tersentralisasi justru banyak menimbulkan ketidakadilan di daerah. Keadilan adalah prasyarat bagi terwujudnya persatuan bangsa sebagaimana hakikat dari Wawasan Nusantara. 
Sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, negara Indonesia memiliki konstitsi atau undang-undang, dasar yang menjamin setiap warganya untuk hidup sesuai dengan hak-haknya dan berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, serta mengatur semua permasalahan, tujuan diproklamasikannya negara ini tercermin dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV, yang menyebutkan:
“Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Ketentuan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 tersebut, menjelaskan bahwa negara Indonesia harus berupaya untuk menjungjung tinggi hak-hak rakyat dan mewujudkan aspirasi rakyat. Sebab, kedaulatan negara ini pada hakikatnya berada pada rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut, pelayanan terhadap rakyatnya tidak terpusat pada suatu pemerintahan (pemerintah pusat), tetapi harus di distribusikan pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, dibentuklah daerah-daerah. Hal ini di atur dalam pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen, yaitu sebagai berikut:
Pasal 18
1)        Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2)        Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4)        Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
5)        Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6)        Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7)        Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
8)      Pasal 18A
9)        Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kehususan dan beragam daerah.
10)    Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
11)  Pasal 18B
12)    Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat husus atau sifatnya istimewa yang diatur dengan undang-undang.
13)    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pembentukan pemerintah daerah ini bertujuan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat.[1] Bung Hatta menjelaskan bahwa wujud kedaulatan rakyat sebagai pernyataan dari pemerintahan rakyat ialah rakyat dalam keadaan sepenuhnya atau dalam bagian-bagiannya memerintah dirinya sendiri. Akan tetapi kedaulatan yang dilakukan oleh rakyat daerah bukanlah kedaulatan yang keluar dari pokoknya, melainkan kedaulatan yang datang dari kedaulatan rakyat yang paling atas. Dengan demikian, kedulatan yang dimiliki oleh rakyat daerah tidak boleh bertentangan dengan garis-garis besar yang telah ditetapkan dalam garis-garis haluan negara.[2]
Otonomi yang diselenggarakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling tidak, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut:
1.    Keragaman bangsa Indonesia dengan sifat-sifat istimewa pada berbagai golongan, tidak memungkinkan pemerintahan diselenggarakan secara seragam.
2.    Wilayah Indonesia yang berpulau-pulau dan luas dengan segala pembawaan masing-masing, memerlukan cara penyelenggaraan yang sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat dari berbagai pulau tersebut.
3.    Desa dan berbagai persekutuan hukum merupakan salah satu sendi yang ingin dipertahankan dalam susunan pemerintahan negara.
4.    Pancasila dan UUD 1945 menghendaki suatu susunan pemerintahan yang demokratis.
5.    Desentralisasi adalah salah satu cara mewujudkan tatanan demokratis tersebut.
6.    Efisiensi dan efektifitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan organisasi. Republik Indonesia yang luas dan penduduk yang banyak dan beragam memerlukan suatu cara penyelenggaraan pemrintahan negara yang menjamin efisiensi dan efektifitas. Dengan membagi-bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam satuan-satuan yang lebih kecil (desentralisasi), efisiensi dan efektifitas tersebut dapat tercapai.[3]
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, daerah otonom dibagi menjadi 3 pola daerah, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota. Disamping sebagai daerah otonom, provinsi ditetapkan sebagai daerah administratif dalam rangka desentralisasi. Oleh karena itu, gubernur memiliki peranan ganda, yaitu gubernur sebagai kepala daerah, dan juga sebagai perangkat atau wakil pemerintahan pusat. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2014 pasal 2 ayat (1) berikut:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.”
Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah (pusat) merupakan hubungan antar organisasi, bahkan hubungan intra organisasi. Adapun hubungan antar daerah otonom merupakan hubungan yang setara, tidak bersifat hierarkis.[4]
Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang menurut Undang-Undang No 5 tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat didaerah, berdasarkan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum pada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Dengan kata lain, menerapkan otonomi daerahnya.
Otonimi atau autonomi berasal dari bahasa Yunani, “auto” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum atau peraturan.[5] Dengan demikian, otonomi adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemerintahan, yang dituangkan dalam perturan sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak wewenang untuk memanajmeni daerah, dan tanggung jawab terhadap kegagalan dalam memanajemeni daerah tersebut. Adapun daerah dalam arti local state goverment adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.[7]
Dengan adanya otonomi, daerah diharapkan akan lebih mandiri dalam melakukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan mampu tidak terlalu aktif mengatur daerah.[8] Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan perannya dalam membuka peluang memajukan daerah tanpa interpensi dari pihak lain, yang disertai dengan pertanggung jawaban publik (masyarakat daerah), serta pertanggung jawaban pada pemerintah pusat, sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam negara kesatuan (unitarisme), otonomi daerah ini diberikan kepada pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, yang otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian sehingga urusan yang dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya dalah urusan yang diserahkan oleh negara bagian.[9]



  1. Desentralsasi
Sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua bentuk[10], yaitu sebgai berikut:
1.        Negara Kesatuan dengan Sistem Sentralisasi, yaitu segala sesuatu dalam negara itu langsung dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakannya saja.
2.        Negara Kesatuan dengan Sistem Desentralisasi, yaitu daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom (suatantra).
Desentralisasi adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut persoalan kekuatan (power), biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah.[11] Dalam Encyclopedia Of The Sosial Scince, desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif, maupun administratif. Dalam ensiklopedia tersebut, dikemukakan bahwa desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi tetapi jangan dikacaukan dengan pengertian dekonsentrasi, sebab istilah ini secara umum lebih diartikan sebagai pendelegasian dari atasan kepada bawahannya untuk melakukan suatu tindakan atas nama atasannya tanpa melepaskan wewenang dan tanggung jawabnya.[12]
Sedangkan desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer/pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara desentralisasi menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan adalah proses pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.   
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat (7), desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintahan tersebut adalah wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan pemerintahan daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberi oleh pemerintah pusat sesuai dengan aspirasi masyarakat daerahnya, walaupun sebenarnya daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan piskal nasional, dan agama.
Tujuan utama desentralisasi adalah :
1.        Tujuan politik, yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya stabilitas politik nasional.
2.        Tujuan ekonomis, yang dimaksud untuk menjamin bahwa pembagunan akan dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.[13]
C.    Dekonsentrasi 
Selain asas desentralisasi, daerah otonom dalam hal ini daerah provinsi menganut pula asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan adanya pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk).
Kehadiran dekonsentrasi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan pemerintahan sentral di Daerah. 
Berdasarkan pendapat di atas, maka pada dasarnya dekonsentrasi itu dilaksanakan untuk memudahkan tugas-tugas Pemerintah (pusat) yang diselenggarakan di Daerah. Oleh karena itu menurut Bagir Manan: Dekonsentrasi adalah unsur sentralisasi. Karena semata-mata ” ambelijk ” maka dekonsentrasi dalam ilmu hukum terletak dalam lingkungan Hukum Administrasi Negara ( Administratiefrecht bukan Staatrecht). 
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan-urusan pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, yaitu urusan-urusan pemerintahan yang diserahkannya ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi. Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana dekonsentrasi.  
Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakan asas dekonsentrasi ini diantaranya adalah :
1.      Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
2.        Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara;
3.         Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
4.         Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;[14]

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau kepala instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah, yang meliputi:
1.        Pelimpahan wewenang dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal;
2.        Pelimpahan wewenang dari pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintah yang lebih rendah, disebut dekonsentrasi vertical.
3.        Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah provinsi dan ibukota Negara.wilayah provinsi dibagi ke dalam wilayah-wilayah kabupaten dan kota.kemudian, wilayah-wilayah kabupaten dan kota dibagi dalam wilayah kecamatan. Penerapan asas dekonsentrasi ini disebut dekonsentrasi teritorial.[15]
Suatu hal yang esensial dalam pelaksanaan dekonsentrasi adalah urusan atau wewenang yang dilimpahkan itu sepenuhnya menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan yang dilimpahi itu semata-mata sebagai pelaksana saja.
Undang-Undang  No 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 8 menjelaskan makna dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah atau kepada instansi vertical diwilayah tertentu.
Dengan demikian, dekonsentrasi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan daerah, dalam hal ini provinsi, hanya diberi wewenang karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, gubernur selain pelaksana desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi dekonsentrasi harus dekat dengan kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta kesadaran nasional.



D.    Tugas pembantuan
Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi wewenang pemerintah atau provinsi.[16] Pemerintah atau provinsi yang menugaskan ini menyusun rencana kegiatan, atau kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya, sedangkan daerah yang ditugasi sekadar melaksanakannya, tetapi wajib untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.
Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota. 
Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta, Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota. 
Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat (9), tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahan pusat kepada daerah dan/ atau desa, dari pemerintahan provinsi kepada kabupaten/ kota dan/ atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, hakikat tugas pembantuan adalah sebagai berikut.
1.        Tugas pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemerintahan dalam tahap implentasi kebijakan yang bersifat operasional
2.        Urusan pemerintahan yang dapat ditugas pembantukan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya.
3.        Kewenangan yang dapat di tugas pembantuan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak di tugas pembantuan pada institusi lain.
Kewenangan ini terdiri atas :
a.       Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat pada satuan pemerintahan atas dasar peraturan perundangan- perundangan yang membentuknya
a.       Kewenangan degelatif adalah kewenangan yang di delegasikan dari satua pemerintah yang lebih besar kepada satuan pemerintah yang lebih kecil. Kewenangan delegatif tidak dapat didelegasikan kepada pemerintah lainnya karena bukan kewenangan yang melekat pada satuan pemerintah yang bersangkutan.
4.        Urusan pemerintah yang ditugasbantukan tetap menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya
5.        Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia disediakan oleh institusi yang menugaskannya
6.        Kegiatan operasional diserahkan sepernuhnya pada institusi yang diberi penugasan, sesuai dengan situasi, kondisi, serta kemampuannya
7.        Intitusi yang menerima penugasan diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan.[17]
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, maksud dan tujuan adanya tugas pembantuan adalah :
1.        Meningkatkan efensiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahaan, pengelolaan pembangunan, serta pelayanan umum
2.        Memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa


                                                                                                     



[1] HAW. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, op, cit., hlm. 22.
[2] Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm.28.
[3] Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjdjaran tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Penyusunan Konsep Model Titik Berat Otonomi Pada daerah Tingkat Dua Diprovinsi Tingkat I Jawa Barat, 1986, Hlm.29.
[4] HAW, Widjadja, ep. Cit., hlm. 93.
[5] Sarundajang, Arus Balik Kekasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2000, hlm. 33.
[6] Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat (5-6).
[7] Riant Nugroho Dwidjowijoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, Eleks Media Komputindo, Jakarta, 2000, hlm. 46.
[8] HAW. Widjadja, Op. Cit ; hlm. 7.
[9] Sarundajang, op. Cit., hlm. 32.
[10] Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm. 3.
[11] Ibid.,hlm. 19.
[12] Sarungdajang, Op. Cit., hlm. 46.
[13] Tjahya Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 21.
[14] Dadang Solihin dan Putut Mahyadi, Panduan Lengkap Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002, hlm. 6.
[15] Tjahya Supriatna, op. Cit., hlm. 77.
[16] Ibid., hlm.78.
[17] Sadu Wasistiono, Kapitaselekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung, 2003, hlm. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar