Minggu, 07 Agustus 2016

MAKALAH "PEMBENTUKAN DAERAH & KAWASAN HUSUS, oleh: yana mulyana, Bojong-Bungbulang




MAKALAH "PEMBENTUKAN DAERAH & KAWASAN HUSUS



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pembentukan daerah bermaksud untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai pendidikan politik ditingkat lokal. Pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti :
1.      Kemampuan ekonomi
2.       Potensi daerah
3.      Luas wilayah dan pertimbangan dari aspek sosial budaya, aspek sosial politik aspek pertahanan dan keamanan
4.      Pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
                        Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonomi untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/ berskala nasional, misalnya dalam bentuk Kawasan cagar budaya, Taman nasional, Pengembangan industri strategis, Pengembangan teknologi tinggi,  Peluncuran peluru kendali, Pengembangan prasarana komunikasi, Telekomunikasi, Transportasi, Pelabuhan dan daerah perdagangan bebas dll.
                        Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Mengikutsertakan dalam ketentuan ini adalah perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan. Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus kepada pemerintah. Tata cara penetapan kawasan khusus diatur dalam peraturan pemerintah.
                        Dan adapun daerah istimewa serta daerah khusus, Secara politis Otonomi khusus artinya ada perlakuan khusus bagi wilayah atau bangsa. Secara politis Otonomi khusus biasanya diberikan kalau ada negara yang didirikan dengan berbagai macam suku bangsa dengan beragam latar belakang sejarah, politik atau hukumnya.
                        Maka dari itu penulis tertarik untuk menjadikan topik ini sebagai sebuah makalah yang berjudul “Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus”.
                       






B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembentukkan daerah dan kawasan khusus?
2.      Apa pengertian dari daerah istimewa dan penjelasannya?
3.      Apa pengertian dari daerah khusus dan penjelasannya?
4.      Bagaimana otonomi khusus dibentuk?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar memahami pembentukkan daerah dan kawasan khusus.
2.      Agar mengetahui tentang daerah istimewa.
3.      Supaya mengetahui daerah yang termasuk daerah istimewa, daerah khusus dan otonomi khusus.
4.      Agar memahami tentang otonomi khusus yang telah dibentuk.
D.    Manfaat Penulisan
1.      Untuk menambah wawasan tentang dibentuknya daerah dan kawasan khusus.
2.      Untuk lebih memahami tentang daerah istimewa, daerah khusus, dan otonomi khusus.
3.      Untuk mengetahui daerah yang termasuk daerah istimewa, daerah khusus dan otonomi khusus.
4.      Untuk mengetahui sejarah dibentuknya daerah-daerah istimewa, daerah khusus dan otonomi khusus.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus
1.      Pembentukan Daerah
            Sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi yang di anut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dibentuk daerah-daerah otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan[1]:
Ayat (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Ayat (2): Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
           

            Sama halnya dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, UU No. 32 Tahun 2004, meletakan titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan kota. Hal ini bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
            Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintahan pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan ini meliputi hubungan wewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya yang dilakukan secara adil dan selaras. Hubungan-hubungan ini akan menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar sesama pemerintahan.
            Menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang  bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya bentuk pemerintahan yang lain, seperti Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta, daerah istimewa aceh (Nanggroe aceh darussalam), daerah istimewa yogyakarta, dan provinsi-provinsi di papua. Bagi daerah-daerah ini, secara prinsip tetap di berlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Jadi, bagi daerah yang bersifat dan istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan undang-undang tersendiri.
            Untuk daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus, selain diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 ini, juga diberlakukan ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Hal ini berlaku bagi provinsi daerah khusus ibu kota (DKI), provinsi nanggroe aceh darussalam, provinsi papua, dan provinsi daerah istimewa yogyakarta. Untuk provinsi daerah istimewa yogyakarta, penyelenggaraan pemerintahanya tetap berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, sedangkan untuk provinsi naggroe aceh darussalam, pemilihan kepala daerah atau wakil kepala daerah berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa aceh sebagai provinsi nanggroe aceh darussalam dengan penyempurnaan sebagai berikut :
            Untuk memilih kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai dengan april 2005 diselenggarakan pemilihan secara langsung sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun 2001:
a.       Untuk kepala daerah selain yang dimaksud pada nomor 1, pemilihan kepala daerahnya diselenggarakan sesuai dengan periode masa jabatannya.
b.      Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum UU No. 32 tahun 2004 ini disah kan sampai bulan april 2005 sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang penjabat kepala daerah.
c.       Penjabat kepala daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud UU No. 18 tahun 2001.
d.      Anggota komisi independen pemilihan dari unsur anggota komisi pemilihan umum republik Indonesia diisi oleh ketua komisi pemilihan umum provinsi nanggroe aceh darussalam.
Pengertian pemerintahan daerah dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah :
a.       Pemerintah daerah provinsi, yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi.
b.      Pemerintah daerah kabupaten/kota, terdiri atas pemerintah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.[2]
2.      Kawasan Khusus
            Di dalam daerah otonomi provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk kawasan khusus.  Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut keinginan orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan pertahanan dan keamanan.
            Dalam kawasan khusus diselenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai dengan kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas dan kegiatan industri dan sebagainya.
            Fungsi pemerintahan tertentu tersebut diatas untuk perdagangan bebas dan atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang. Fungsi pemerintahan tertentu yang lain diatur dengan peraturan pemerintahan.
            Fungsi pemerintahan tertentu dimaksud antara lain, pertahanan negara, pendayagunaan wilayah, perbatasan, dan pulau-pulau tertentu/terluar, lembaga permasyarakatan, pelestarian warisan budaya dan cagar alam, pelestarian lingkungan hidup riset dan teknologi.
            Untuk membentuk kawasan khusus pemerintah mengikut sertakan daerah yag bersangkutan. Mengikut sertakan dalam ketentuan ini adalah perencanaan, pelaksaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan. Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus kepada pemerintah. Tata cara penetapan kawasan khusus diatur dalam peraturan pemerintah.[3]
            Kawasan khusus yang berfungsi untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan dibidang pertahanan/keamanan negara dapat berbentuk pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, dan pangkalan militer.
            Kawasan khusus lain dapat berbentuk pengembangan kawasan industri strategis, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, daerah perdagangan bebas, wilayah eksploitasi, dan pengembangan sumber daya nasional, laboratarium sosial,  dan lembaga permasyarakatan khusus.[4]
           
B.     Daerah Istimewa
            Daerah-daerah swapraja yang pada dasarnya adalah daerah-daerah yang dalam pelaksanaan pemerintahannya masih sangat menghargai asal usul dari daerah tersebut. Daerah yang di beri status Swapraja berarti merupakan daerah bekas kerajaan, yang sampai zaman kemerdekaan tetap eksis.[5] Daerah Istimewa adalah  daerah yang mempunyai aturan pemerintahan khusus yang kadang-kadang menyimpang atau berbeda dari peraturan umum. Daerah yang termasuk daerah istimewa di Indonesia adalah:
1.      Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
            Keberadaan DIY memang memiliki nilai historis yang cukup menentukan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Selain itu DIY adalah wilayah kerajaan yang tidak sepenuhnya di intervensi oleh Belanda. Dengan demikian sebenernya apabila DIY tidak menyatakan diri tidak mendukung Proklamasi akan tetapi mau merdeka sendiri, maka kemungkinan besar sejarah akan berbeda dengan saat ini. Selain itu, keberadaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan Raja Yogyakarta, dalam rangka mendukung kemerdekaan sangat terasa saat itu.
            Walaupun demikian alasan tersebut merupakan alasan yang tidak terlalu mendasar, sebab daerah-daerah lainpun demikian, mereka juga berjuang mati-matian menentang Belanda. Sebagai seorang pahlawan Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan wujud kepahlawanannya. Apabila  Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak melakukan itu dapat saja beliau dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Pendapat seperti itu mungkin akan muncul dalam pemikiran sebagian generasi muda yang mendalami ilmu pemerintahan dan tinggal di Yogyakarta.[6]
            Pada saat penyusunan konsep UU No. 22 Tahun 1999, mahasiswa di mana-mana mengadakan seminar, dan penulis juga menjadi ketua panitia penyusunan konsep, serta memimpin diskusi/seminar nasional STPDN Bandung. Ditingkat elitpun terdapat perdebatan yang sengit tentang keistimewaan DIY, akan dipertahankan atau tidak, mengingat saat itu adalah pergantian Gubernur DIY dari KGPA Paku Alam VIII, yang melanjutkan kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang telah mangkat. Maka setelah KGPA Paku Alam mangkat, dengan sendirinya Sri Sultan Hamengkubuwono X dapat langsung menjadi Gubernur. Kalangan DEPDAGRI malah banyak yang mendukung pemilihan Gubernur, dan bukan penetapan yang berarti menghilangkan keistimewaan DIY.
            Warga DIY sangat senang berada dalam kepemimpinan sultannya, justru keberadaaan sultan adalah simbol DIY, yang mencerminkan masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya. Jadi, apabila DIY dihapus, maka kita kehilangan sejarah sebab sejak pemerintahan orde baru, keberadaan keraton-keraton lain di Nusantara sangat di marjinalkan, sehingga kepemimpinan didaerah hanya berupa pemilihan yang memang demokratis, tetapi tidak menimbulkan rasa hormat yang bedar bagi rakyatnya.
            Akan hal nya DIY, kita akan menemukan yang sebaliknya. Selain itu kalau ingin menghapus keistimewaan DIY, akan sangat bagus diserahkan kepada warga masyarakat DIY sendiri, melalui referendum. Dan jangan melalui keputusan pemerintah pusat secara sepihak. Sebab kalau kita mencermati hakekat pemrintah adalah bagaimana agar masyarakat merasa terlindungi, merasa aman, damai, sejahtera dalam suatu rezim  pemerintahan. Kalau daerah lain mengakui bahwa model demokrasi pemilihan dipandang demokratis, maka bagi masyarakat DIY, keberadaan Sultan sebagai Gubernur itulah yang terbaik. Lalu kalau masyarakat senang, dengan pola yang ada kemudian pemerintah pusat yang hendak menekan apa itu tidak lebih buruk dari penjajah.
            Selain itu, dengan keistimewaannya, DIY tidak membebani anggaran pusat sebab DIY tetap diperlakukan seperti provinsi lainnya. Tidak ada perbedaan perlakuan Gubernur DIY yang Sultan dengan Gubernur lainnya dalam urusan dengan pemerintah pusat. Dengan demikian DIY Istimewa tidak merugikan siapapun juga, utamanya masyarakat Yogyakarta, apalagi masyarakat daerah lainnya. Satu hal lagi, DIY yang istimewa karena keberadaan Kesultanannya, lebih terbuka kepada masyarakat luar daripada masyarakat daerah-daerah lainnya di Indonesia, kalau di daerah lain apalagi era otonomi maka serba pribumi utamanya untuk jabatan politik tetapi DIY, para bupati/walikota apalagi DPRDnya sebagian besar adalah orang yang tidak dikategorikan pribumi. Kalau demikian apakah tidak patut malah kita berbangga dengan masyarakat DIY dengan sistem pemerintahannya. Setidaknya DIY adalah laboratorium budaya pemerintahan yang hidup, dan nyata yang patut untuk disyukuri.[7]
2.      Daerah Istimewa Aceh
            Sedikit kita menyinggung sejarah, kalau daerah lain dapat ditundukan oleh Belanda, maka Aceh adalah kerajaan yang tidak pernah mau tunduk pada Belanda juga Jepang, walaupun Belanda dan Jepang tetap memerintah disana, mereka tidak bisa aman berada di Aceh, walaupun hampir separuh rakyat Aceh dibantai oleh pasukan Marsose, pasukan khusus Belanda yang sangat ganas. Belanda yang saat itu membunuh dan menyiksa tanpa mengenal HAM, tidak sanggup menundukan Aceh. [8]
            Aceh juga merupakan baris Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PDRI) , disaat semua wilayah RI dikuasai kembali oleh Belanda, dan Presiden serta Wakil Presiden ditawan Belanda. Tuntutan agar Aceh dijadikan Daerah Istimewa, sebenernya tidak terlepas dari janji Presiden RI, Soekarno. Beliau menjanjikan kepada Teungku Muhamad Daud Beureuh, tokoh masyarakat Aceh yang menjadi Gubernur militer dengan pangkat Mayor Jenderal kemudian memilih masuk hutan dan memimpin pemberontakan DI/TII di Aceh. Sikap yang di ambil Daud Beureuh ini tidak terlepas dari kekecewaannya atas janji yang di ucapkan Bung Karno. Janji tersebut disampaikan oleh Bung Karno pada saat ke Aceh untuk mengadakan kunjungan yang kemudian menghasilkan dua pesawat seulawah.
            Walaupun demikian pesawat yang sebenarnya bisa dibeli lebih dari dua tersebut, malah terbeli cuma satu. Belakangan diberitakan kalau uang tersebut telah dikorupsi oleh seorang perwira TJR/TNI di Sumatera, yang orang nya telah meninggal dunia.
            Pada saat mengajukan permintaan tersebut, menurut keterangan Daud Beureuh bahwa Bung Karno menyanggupi, tetapi saat diminta berjanji secara tertulis, Bung Karno meneteskan airmata, dengan perkataan apalah gunanya beliau menjadi seorang presiden jika tidak dipercaya. Melihat tersebut Daud Beureuh tidak mendesak lagi, tetapi tinggal menunggu janji. Akan tetapi janji yang ditunggu tidak pernah kesampaian, yang ada adalah Aceh dijadikan Kabupaten dari Provinsi Sumatera Timur. Keadaan ini memaksa Daud Beureuh yang telahterlanjur mengabarkan kepada rakyatnya janji Presiden. Rasa malu dan bersalah pada tokoh rakyat kemudian di manifestasikan dalam bentuk perlawanan yang oleh banyak pengamat dikatakan setengah hati. Sebab setelah Wakil Perdana Menteri Missi Hardi No. 1/Missi/1959 , yang mengatur bahwa Aceh sebagai Daerah Istimewa dalam hal agama, adat istiadat, dan budaya, maka pemberontakanpun berakhir dengan sendirinya.[9]
            Keistimewaan sebagaimana yang diberikan lewat Missi Hardi tersebut tidak pernah dijalankan, sebab ketika pemerintah Aceh mengharapkan adanya peraturan pelaksanaan dari keputusan tersebut , maka pemerintah pusat dengan berbagai dalih menolak.
Sampai pada masa orde baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 dalam penyusunan awalnya ada upaya untuk menghilangkan semua bentuk keistimewaan. Akan tetapi setelah melalui perdebatan yang panjang, maka Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh tetap diakui. Walaupun kalau DIY keistimewaannya terletak pada Sultan dan KGPA Pakualam menjadi Gubernur dan Wagub, maka keistimewaan bagi Aceh hanyalah nama tanpa sebuah isi. Keistimewaan dalam bentuk nama kosong tersebut juga diperoleh setelah perjuangan Gubernur Aceh dan PPP (yang merupakan gabungan partai-partai Islam, pasca pemilu 1971), dalam sidang-sidang perumusan UU No. 5 Tahun 1974.
            Kejengkelan rakyat Aceh pada pemerintah pusat semakin memuncak, setelah mereka menyaksikan lahan gas dan minyak semakin banyak menelorkan uang ke Jakarta, sementara rakyat Aceh di sekitarnya tidak mendapatkan apa-apa.  Pemberontakan pun meletus dan disebut GAM generasi kedua, yang konon menurut laporan Gubernur Aceh Teuku Abdullah Hasan lebih berbahaya lagi dibanding GAM sebelumnya. Atas informasi tersebut presiden Soeharto kemudian menempatkan personel militer tambahan di Aceh dan kemudian Aceh pun resmi menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM ).
            Kisah Aceh bersimbah darah bukanlah omong kosong, sebab sejak tahun 1873 sampai sekitar tahun 2000-an tidak ada kedamaian yang penuh bagi rakyat Aceh. Ketika Gazali Adnan Abas, seorang wakil rakyat darii Aceh pada saat sidang tahunan MPR RI tanggal 3 November 2001 meminta perhatian kepada sidang Paripurna karena Presiden Megawati hadir, untuk memperhatikan Aceh yang sampai saat kini bersimbah darah, maka dengan nyata kita saksikan sebagian anggota dewan yang terhormat meledek dan menghambat upaya tersebut. Alasan bahwa masih banyak kasus lain yang lebih penting.
            Melihat sikap para sebagian anggota MPR yang mengabaikan rakyat Aceh, sehingga mengakibatkan pandangan masyarakat Aceh bahwa mereka merasa tinggal sendiri di negara ini, mereka menyatakan buat apa tinggal menyatu dengan saudara yang tidak memperhatikan kita dengan baik. Ada saat tertentu dimana materi tidak lebih berarti dari kasih dan perasaan senasib. Uang triliunan yang diperoleh Aceh karena otonomi khusus, malah akan dirtikan dengan bahasa yang berbeda bahwa dengan otonomi khusus saja bisa mendapatkan uang triliunan apalagi kalau merdeka dari indonesia?, otonomi khusu bagi kalangan materialis berarti puncak dari segala tuntutan, tetapi bagi orang yang beragama materi bukanlah tujuan utama bagi hidup.
            Sinyalemen Tengku Hasan Tiro yang mengatakan bahwa “ ......Indonesia adalah satu bangsa dimana ratap tangis sebuah golongan menjadi tertawaan bagi golongan lain; di mana orang-orang yang dianggap pahlawan oleh satu golongan dianggap pengkhianat oleh golongan lainnya; dimana kekejaman terhadap satu golongan dipandang keadilan oleh golongan lain;” solidaritas nasional” hanya ada dibibir dan poster-poster saja.....” sinyalemn tersebut merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan kebenarannya, tetapi juga tidak bisa digeneralisasi kebenarannya.
            Kini dengan kehadiran UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Nangroe Aceh Darussalam, dapat menjadi awal terbangunnya kembali kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat Aceh. Justru Aceh dan Papu memiliki andil yang besar dalam melahirkan sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis dan desentralisasi dewasa ini. Sehingga Aceh kini telah menyumbangkan kesejahteraan dan kebebasan bagi warga Aceh sendiri, tetapi juga telah memberikan sumbangan bagi perubahan sistem politik di negeri ini.
            Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004.[10] Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah.
            Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah “KPUD”.[11]
            Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya, Menurut pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa dalam negara serikat, negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat mengatur sendiri organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan konstitusi federalnya.[12]


C.    Daerah Khusus
            Daerah khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Daerah yang termasuk daerah khusus adalah:
1.      Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) Jakarta
            Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sedangkan pusat pemerintah Negara merupakan pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan negara, serta pengawasannya diselenggarakan di Jakarta. Karena peranan strategis yang sangat menentukan dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara , keamanan, ketertiban Ibukota dan seluruh wilayah DKI Jakarta harus terjamin karena dampaknya akan sangat luas. Stabilitas segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta akan merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional, bahkan merupakan citra kepada dunia internasional karena Jakarta adalah pintu gerbang utama Indonesia. Bagi Pemerintah DKI Jakarta yang sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang tidak menutup kemungkinan menghadapi ancaman.
            Pada tanggal 28 Agustus 1961 dikeluarkan Penpres No 2 tahun 1961 tentang Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Adapun alasan-alasan dikeluarkannya Penpres itu ialah:
a.       bahwa Jakarta sebagai ibukota Negara patut dijadikan:
1)      kota Indoktrinasi;
2)      kota teladan; dan
3)      kota cita-cita  seluruh bangsa Indonesia
b.      bahwa sebagai ibukota negara daerah Jakarta Raya perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional dalam waktu sesingkat-singkatnya;
c.       bahwa untuk mencapai tujuan itu kepada Jakarta Raya harus diberikan kedudukan yang khusus sebagai daerah yang dikuasai Presiden.[13]

D.    Otonomi Khusus
            Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Istilah otonomi ini dapat diartikan sebagai kebebasan rakyat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
            Salah satu hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru.[14]
1.      Otonomi Khusus Untuk Papua
            Provinsi Irian Jaya kini juga disebut  Papua, merupakan wilayah RI yang pengakuan dan penyerahannya dari Belanda tidak bersamaan dengan wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang lainnya di Nusantara. Dalam perundingan di Den Hag, disepakati bahwa wiliyah Irian Barat akan diserahkan satu tahun kemudian, atau dalam sebagian informasi lainnya akan dibicarakan selanjutnya.
            Irian Barat sengaja tidak diserahkan pada Indonesia karena Belanda masih ingin mengambil keuntungan dari tanah Irian Barat. Pendapat tersebut secara logis dapat dilihat, bahwa daerah jajahan Eropa lainnya pasca perang dunia 2, kembali dapat diduduki oleh penjajah Eropa, kecuali Belanda atas kepulauan Nusantara. Sehingga Belanda tetap ingin menguasai Irian Barat agar tetap memiliki daerah perahan. Belanda menjadi sangat baik, dengan membangun berbagai infra struktur baik pendidikan maupun prasarana lainnya. Tetapi niat baik tersebut hanya sekedar mengambil hati rakyat Irian Barat, agar membantu Belanda untuk melawan Indonesia yang mulai menuntut penyerahan kembali Irian Barat. Pandangan Belanda saat itu adalah meskipun Irian Barat merdeka, Irian Barat akan bersetatus menjadi negara Dominion seperti Papu New Guinea dengan Australia, sehingga secara politik Belanda akan tetap bercokol di kawasa Pasific. Terlepas dari itu bung Karno dalam upaya merebut kembali Irian barat, mengeluakan Tri Kora ( 3 komando rakyat ) yang pada saat ke Irian Barat berpidato dihadapan Rakyat Papua yang salah satu kata-katanya adalah “ mari membangun Irian Barat seperti wilayah Indonesia yang lainnya.” Kehadiran Bung Karno membuat sebaguan rakyat Irian Barat mendukung sepenuhnya penyatuan kembali wilayah Irian Barat dengan Indonesia. PEPERA (penentuan pendapat rakyat) yang diadakan kemudian resmi diakui oleh PBB sebagai kemenangan Indonesia. Walaupun dikemudian hari PEPERA banyak digugat oleh sebagian masyarakat Indonesia dengan alasan dimanupilasi dan sebagainya. 
            Kejadian selanjutnya pasca penyatuan, Indonesia dilanda kisis, baik politik maupun ekonomi, yang berujung pada pergantian rezim kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Keadaan politik dan ekonomi yang tidak menentu di Jakarta dengan sendirinya juga berimbas pada wilayah Irian Jaya. Akan tetapi imbas yang diterima masyarakat Irian Barat secara emosional jauh terasa lebih berat dan berbeda dari pada rakyat diwilayah yang lainnya di Indonesia. Sebab Irian Barat yang baru saja beirntegrasi dengan Indonesia, sebelumnya telah menerima fasilitas yang banyak dari pemerintah Belanda setelah kembali bergabung kepada Indonesia, keadaan jadi sangat berubah. Prasarana yang ada bukan hanya tidak bisa difungsikan, malah sebagian peninggalan Belanda diambil oleh pegawai pemerintah Indonesia yang datang ke Irian Jaya sebagai pegawai Negri atau militer yang buakn etnis Irian Jaya.
            Masyarakat Irian Jaya jelas-jelas merasa diperlakukan secara tidak adil ataiu merasa dijajah oleh Indonesia. Pada masa akhir pendudukan Belanda di Irian Barat, banyak fasilitas masyarakat yang diadakan, yang diwilayah lain baru ada setelah masa pembangunan. Setelah peralihan barang-banrang Belandasamapi daun pintu peninggalan Belandapun diakut dari Irian Jaya. Kekecewaan masyarakat Papua kemudian terakumulasi dalam bentuk perjuangan bersenjata yang kemudian oleh ABRI disebut OPM ( Organisasi Papua Merdeka ).
            Mendapat perlawanan tersebut, pemerintah pusat dibawah pimpinan Jendral Soeharto langsung dituduh separatis. Dengan demikian terjadilah pertempuran antar sebagian kecil rakyat Irian Jaya yang disebut OPM, dengan ABRI. Karena pertempuran dilakukan oleh militer dengan rakyat yang tidak memiliki keterampilan bertempur maka rakyat Papua kemudian merasakan sebagai tindakan Genocide atau penghilangan ras. Anggapan tersebut sangat beralasan dan rasional. Sebab rakyat Irian dengan pola hidup yang sangat tradisional dan bergantung pada alam akan sangat rentan terhadap penyakit, dan orang-orang dewasa yang ada di pedalaman kemudian baik karena keinginan sendiri maupun paksaan OPM, bergabung untuk melawan ABRI. Jelas kalau kematian akan banyak diderita milisi OPM sebab keterampilan yang sangat jauh berbeda. Sedangkan dengan matinya satu milisi berarti kehilangan satu ras dari etnis Papua yang sangat sedikit dan sangat lamban pertumbuhannya. Selain itu apabila ada anggota militer yang tertembak, maka ABRI akan menembaki dan memusnahkan kampung-kampung penduduk yang hanya dihuni oleh anak-anak dan kaum wanita.
            Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai berikut:
“Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif”.
            Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah “legislatif dan eksekutif” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) tersebut, yaitu:
a.       Dilihat dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Menurut Sukardi bahwa lembaga legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari badan legislatif adalah undang-undang. Sedangkan lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana undang-undang. Pembagian kekuasaan negara kedalam badan eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke dan Montesquieu.[15]
            C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat.[16] Ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama (supreme legislation) dan legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau delegated legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari lembaga lain di luar lembaga pemegang kedaulatan. Di Indonesia, Peraturan Daerah merupakan salah produk hukum dari delegated legislation.
            Dari paparan di atas, penggunaan istilah “badan legislasi dan badan eksekutif”, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah “badan legislasi dan badan eksekutif” adalah tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lainnya juga memiliki fungsi legislasi.[17] Akan tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.
            Penyebutan “badan legislatif dan badan eksekutif” merupakan bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan Propinsi Papua yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan istilah “badan legislatif dan badan eksekutif”. Dalam sistem otonomi daerah, kekuasaan yang dipencarkan hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja. Sehingga tidak terdapat pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-kesatuan pemerintahan (mitra) dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan.
            Dengan penggunaan istilah “badan legislatif dan badan eksekutif” maka memiliki kesamaan dengan bentuk pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari bentuk negara federal. Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu pemerintah negara federasi dan pemerintah negara bagian.[18] Oleh karena adanya dua macam pemerintah tersebut maka pembagian kekuasaan negara juga berbeda antara negara federal dengan negara bagian. Sehingga badan pembentuk undang-undangnya pun ada dua, yaitu badan pembentuk undang-undang di negara federal dan badan pembentuk undang-undang di negara bagian. Produk hukum badan legislatif federal disebut undang-undang federal sedangkan produk hukum badan legislatif negara bagian disebut undang-undang negara bagian.
b.      Penggunaan istilah “DPRP” juga tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
            Penggunaan istilah DPRP tanpa ditambahi kata “daerah provinsi” menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah “DPR RI”. Istilah “RI” dalam DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau tingkatan badan perwakilan tingkat pusat. Penggunaan istilah “daerah provinsi” di akhir istilah “DPR” itu menunjukkan bahwa badan perwakilan tersebut berada di tingkat daerah provinsi. Dengan tidak digunaknannya istilah “daerah provinsi” dalam istilah “DPRP” maka secara a contrario itu berarti bahwa DPRP “bukanlah” DPRD Provinsi sebagaimana DPRD Provinsi-Provinsi lainnya. Dengan kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan pada sebuah negara bagian, bukan pada daerah dalam negara kesatuan.
c.       Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur.[19]
            Dengan demikian, maka ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya.
            Konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[20] Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model bentuk susunan negara federal.[21] Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kedua daerah otonomi khusus tersebut. Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya.
           









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut keinginan orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan pertahanan dan keamanan.
            Daerah Istimewa adalah  daerah yang mempunyai aturan pemerintahan khusus yang kadang-kadang menyimpang atau berbeda dari peraturan umum. Daerah yang termasuk daerah istimewa adalah:
1.      Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
2.      Nanggroe Aceh Darussalam
            Daerah khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Daerah yang termasuk daerah khusus adalah Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sedangkan pusat pemerintah Negara merupakan pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan negara, serta pengawasannya diselenggarakan di Jakarta. Karena peranan strategis yang sangat menentukan dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara, keamanan, ketertiban Ibukota dan seluruh wilayah DKI Jakarta harus terjamin karena dampaknya akan sangat luas. Stabilitas segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta akan merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional, bahkan merupakan citra kepada dunia internasional karena Jakarta adalah pintu gerbang utama Indonesia. Bagi Pemerintah DKI Jakarta yang sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang tidak menutup kemungkinan menghadapi ancaman. Diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.

B.     Saran
            Pemerintah seharusnya lebih peka terhadap masalah yang berada di masyarakat bahkan untuk pembagian daerah pun seharusnya di bagi secara adil agar dapat mengurangi kesenjangan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dan masyarakat pun harus lebih bisa menangani permasalahan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri karena di bangunnya otonomi salah satunya agar masyarakat dapat mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
Azhari. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009.
Chirstine, Kansil. Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jakarta: Sinan Grafika. 2008.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Kranenburg, R. Ilmu Negara Umum. ditejemahkan Sabaroedin, Jakarta: Paradnya Paramita. 1989.
Manan, Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH-UII. 2005.
Soehino. Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty. 2000.
Toet Hendratno, Edie. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme. Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press. 2009.
Undang- undang pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.
Undang-undang Pasal 22E ayat (5) Tahun 1945.
Undang-undang Pasal 1 angka 21 Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 32 Pasal 3 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 32 Pasal 41Tahun 2004.
Undang-undang Pasal 1 angka 12 Nomor 11 Tahun 2006.
Undang-undang Pasal 292 ayat (1) Nomor 27 Tahun 2009.
Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.




[1] Prof. H. Rozali Abdullah, S.H, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 7.
[2]Ibid., hlm. 9-10.
[3] Prof. Drs. HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 159.
[4]Ibid., hlm. 160.
[5] Azhari, SSTP,. M.Si, Sistem Politik Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2009, hlm. 130.
[6]Ibid., hlm. 132.
[7] Azhari, SSTP,. M.Si, op. cit. hlm. 134.
[8] Azhari, SSTP,. M.Si, loc. cit.
[9] Azhari, SSTP,. M.Si, op. cit. hlm. 135.
[10] Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan istilah Pemerintahan daerah provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.
[11] Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 32 Tahun 2004.
[12] R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan Tk.B.Sabaroedin, Jakarta, Paradnya Paramita, 1989, hlm. 180.
[13] Kansil, Chirstine S.T., S.H., M.H,. , Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinan Grafika, Jakarta, cet. 3, 2008, hlm. 50-51.
[14] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum FH-UII, 2005, hlm. 7.
[15] Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3, Yogyakarta, Liberty, 2000, hlm. 109-117.
[16] Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009, hlm. 48.
[17] Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009.
[18] Soehino, Ilmu Negara., Op. Cit. hlm. 227
[19] Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: “Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur”. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD”. Lalu bandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan :”Perdasi dibuat dan ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur”.
[20] Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 95.
[21] Edie Toet Hendratno, op. cit. hlm. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar