MAKALAH "PEMBENTUKAN DAERAH & KAWASAN HUSUS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembentukan daerah bermaksud untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sebagai pendidikan politik
ditingkat lokal. Pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor
seperti :
1.
Kemampuan ekonomi
2.
Potensi daerah
3.
Luas wilayah dan
pertimbangan dari aspek sosial budaya, aspek sosial politik aspek pertahanan
dan keamanan
4.
Pertimbangan dan syarat
lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan
dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di
daerah otonomi untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang
bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional/ berskala nasional, misalnya dalam
bentuk Kawasan cagar budaya, Taman nasional, Pengembangan industri strategis, Pengembangan
teknologi tinggi, Peluncuran peluru
kendali, Pengembangan prasarana komunikasi, Telekomunikasi, Transportasi, Pelabuhan
dan daerah perdagangan bebas dll.
Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah
daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut. Mengikutsertakan dalam
ketentuan ini adalah perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan.
Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus kepada pemerintah. Tata
cara penetapan kawasan khusus diatur dalam peraturan pemerintah.
Dan adapun daerah istimewa serta daerah
khusus, Secara politis Otonomi khusus artinya ada perlakuan khusus bagi wilayah
atau bangsa. Secara politis Otonomi khusus biasanya diberikan kalau ada negara
yang didirikan dengan berbagai macam suku bangsa dengan beragam latar belakang
sejarah, politik atau hukumnya.
Maka dari itu penulis tertarik untuk
menjadikan topik ini sebagai sebuah makalah yang berjudul “Daerah Istimewa,
Daerah Khusus dan Otonomi Khusus”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pembentukkan daerah dan kawasan khusus?
2.
Apa
pengertian dari daerah istimewa dan penjelasannya?
3.
Apa
pengertian dari daerah khusus dan penjelasannya?
4.
Bagaimana
otonomi khusus dibentuk?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Agar
memahami pembentukkan daerah dan kawasan khusus.
2.
Agar
mengetahui tentang daerah istimewa.
3.
Supaya
mengetahui daerah yang termasuk daerah istimewa, daerah khusus dan otonomi
khusus.
4.
Agar
memahami tentang otonomi khusus yang telah dibentuk.
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Untuk
menambah wawasan tentang dibentuknya daerah dan kawasan khusus.
2.
Untuk
lebih memahami tentang daerah istimewa, daerah khusus, dan otonomi khusus.
3.
Untuk
mengetahui daerah yang termasuk daerah istimewa, daerah khusus dan otonomi
khusus.
4.
Untuk
mengetahui sejarah dibentuknya daerah-daerah istimewa, daerah khusus dan
otonomi khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembentukan
Daerah dan Kawasan Khusus
1.
Pembentukan
Daerah
Sebagai konsekuensi kebijakan
desentralisasi yang di anut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
perlu dibentuk daerah-daerah otonom dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan[1]:
Ayat
(1): Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Ayat
(2): Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sama halnya dengan
undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, UU No. 32 Tahun 2004, meletakan
titik berat otonomi pada daerah kabupaten dan kota. Hal ini bertujuan untuk
lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintahan pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan ini
meliputi hubungan wewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya yang dilakukan secara adil dan selaras.
Hubungan-hubungan ini akan menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan
antar sesama pemerintahan.
Menurut UU No. 32
Tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah
yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita
mengenal adanya bentuk pemerintahan yang lain, seperti Daerah Khusus Ibu kota
(DKI) Jakarta, daerah istimewa aceh (Nanggroe aceh darussalam), daerah istimewa
yogyakarta, dan provinsi-provinsi di papua. Bagi daerah-daerah ini, secara
prinsip tetap di berlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Jadi, bagi daerah
yang bersifat dan istimewa tersebut, secara umum berlaku UU No. 32 tahun 2004
dan dapat juga diatur dengan undang-undang tersendiri.
Untuk
daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus,
selain diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 ini, juga diberlakukan ketentuan
khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Hal ini berlaku bagi provinsi
daerah khusus ibu kota (DKI), provinsi nanggroe aceh darussalam, provinsi
papua, dan provinsi daerah istimewa yogyakarta. Untuk provinsi daerah istimewa
yogyakarta, penyelenggaraan pemerintahanya tetap berdasarkan UU No. 32 tahun
2004, sedangkan untuk provinsi naggroe aceh darussalam, pemilihan kepala daerah
atau wakil kepala daerah berdasarkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus
bagi provinsi daerah istimewa aceh sebagai provinsi nanggroe aceh darussalam
dengan penyempurnaan sebagai berikut :
Untuk memilih
kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai dengan april 2005
diselenggarakan pemilihan secara langsung sebagaimana dimaksud UU No. 18 Tahun
2001:
a.
Untuk
kepala daerah selain yang dimaksud pada nomor 1, pemilihan kepala daerahnya
diselenggarakan sesuai dengan periode masa jabatannya.
b.
Kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum UU No. 32
tahun 2004 ini disah kan sampai bulan april 2005 sejak masa jabatannya berakhir
diangkat seorang penjabat kepala daerah.
c.
Penjabat
kepala daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala
daerah yang dipilih secara langsung sebagaimana dimaksud UU No. 18 tahun 2001.
d.
Anggota
komisi independen pemilihan dari unsur anggota komisi pemilihan umum republik
Indonesia diisi oleh ketua komisi pemilihan umum provinsi nanggroe aceh
darussalam.
Pengertian
pemerintahan daerah dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah :
a.
Pemerintah
daerah provinsi, yang terdiri dari pemerintah daerah provinsi dan DPRD
Provinsi.
b.
Pemerintah
daerah kabupaten/kota, terdiri atas pemerintah kabupaten/kota dan DPRD
kabupaten/kota.[2]
2.
Kawasan
Khusus
Di dalam daerah otonomi provinsi,
kabupaten/kota, dapat dibentuk kawasan khusus.
Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut
keinginan orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan
pertahanan dan keamanan.
Dalam kawasan khusus diselenggarakan
fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai dengan kepentingan nasional. Kawasan
khusus dapat berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas dan kegiatan
industri dan sebagainya.
Fungsi pemerintahan tertentu
tersebut diatas untuk perdagangan bebas dan atau pelabuhan bebas ditetapkan
dengan undang-undang. Fungsi pemerintahan tertentu yang lain diatur dengan
peraturan pemerintahan.
Fungsi pemerintahan tertentu
dimaksud antara lain, pertahanan negara, pendayagunaan wilayah, perbatasan, dan
pulau-pulau tertentu/terluar, lembaga permasyarakatan, pelestarian warisan
budaya dan cagar alam, pelestarian lingkungan hidup riset dan teknologi.
Untuk membentuk kawasan khusus
pemerintah mengikut sertakan daerah yag bersangkutan. Mengikut sertakan dalam
ketentuan ini adalah perencanaan, pelaksaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan.
Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus kepada pemerintah. Tata
cara penetapan kawasan khusus diatur dalam peraturan pemerintah.[3]
Kawasan khusus yang berfungsi untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dibidang pertahanan/keamanan negara dapat
berbentuk pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, dan pangkalan
militer.
Kawasan khusus lain dapat berbentuk
pengembangan kawasan industri strategis, pengembangan prasarana komunikasi,
telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, daerah perdagangan bebas, wilayah
eksploitasi, dan pengembangan sumber daya nasional, laboratarium sosial, dan lembaga permasyarakatan khusus.[4]
B.
Daerah
Istimewa
Daerah-daerah
swapraja yang pada dasarnya adalah daerah-daerah yang dalam pelaksanaan
pemerintahannya masih sangat menghargai asal usul dari daerah tersebut. Daerah
yang di beri status Swapraja berarti merupakan daerah bekas kerajaan, yang
sampai zaman kemerdekaan tetap eksis.[5] Daerah
Istimewa adalah daerah yang mempunyai
aturan pemerintahan khusus yang kadang-kadang menyimpang atau berbeda dari
peraturan umum. Daerah yang termasuk daerah istimewa di Indonesia adalah:
1.
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY)
Keberadaan DIY memang memiliki nilai
historis yang cukup menentukan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari
upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Selain itu DIY adalah wilayah kerajaan
yang tidak sepenuhnya di intervensi oleh Belanda. Dengan demikian sebenernya
apabila DIY tidak menyatakan diri tidak mendukung Proklamasi akan tetapi mau
merdeka sendiri, maka kemungkinan besar sejarah akan berbeda dengan saat ini.
Selain itu, keberadaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan Raja
Yogyakarta, dalam rangka mendukung kemerdekaan sangat terasa saat itu.
Walaupun demikian alasan tersebut
merupakan alasan yang tidak terlalu mendasar, sebab daerah-daerah lainpun
demikian, mereka juga berjuang mati-matian menentang Belanda. Sebagai seorang
pahlawan Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan wujud kepahlawanannya. Apabila Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak melakukan
itu dapat saja beliau dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Pendapat seperti
itu mungkin akan muncul dalam pemikiran sebagian generasi muda yang mendalami
ilmu pemerintahan dan tinggal di Yogyakarta.[6]
Pada saat penyusunan konsep UU No. 22
Tahun 1999, mahasiswa di mana-mana mengadakan seminar, dan penulis juga menjadi
ketua panitia penyusunan konsep, serta memimpin diskusi/seminar nasional STPDN
Bandung. Ditingkat elitpun terdapat perdebatan yang sengit tentang keistimewaan
DIY, akan dipertahankan atau tidak, mengingat saat itu adalah pergantian Gubernur
DIY dari KGPA Paku Alam VIII, yang melanjutkan kepemimpinan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yang telah mangkat. Maka setelah KGPA Paku Alam mangkat,
dengan sendirinya Sri Sultan Hamengkubuwono X dapat langsung menjadi Gubernur.
Kalangan DEPDAGRI malah banyak yang mendukung pemilihan Gubernur, dan bukan
penetapan yang berarti menghilangkan keistimewaan DIY.
Warga DIY sangat senang berada dalam
kepemimpinan sultannya, justru keberadaaan sultan adalah simbol DIY, yang
mencerminkan masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya. Jadi, apabila DIY
dihapus, maka kita kehilangan sejarah sebab sejak pemerintahan orde baru,
keberadaan keraton-keraton lain di Nusantara sangat di marjinalkan, sehingga
kepemimpinan didaerah hanya berupa pemilihan yang memang demokratis, tetapi
tidak menimbulkan rasa hormat yang bedar bagi rakyatnya.
Akan hal nya DIY, kita akan
menemukan yang sebaliknya. Selain itu kalau ingin menghapus keistimewaan DIY,
akan sangat bagus diserahkan kepada warga masyarakat DIY sendiri, melalui
referendum. Dan jangan melalui keputusan pemerintah pusat secara sepihak. Sebab
kalau kita mencermati hakekat pemrintah adalah bagaimana agar masyarakat merasa
terlindungi, merasa aman, damai, sejahtera dalam suatu rezim pemerintahan. Kalau daerah lain mengakui
bahwa model demokrasi pemilihan dipandang demokratis, maka bagi masyarakat DIY,
keberadaan Sultan sebagai Gubernur itulah yang terbaik. Lalu kalau masyarakat
senang, dengan pola yang ada kemudian pemerintah pusat yang hendak menekan apa
itu tidak lebih buruk dari penjajah.
Selain itu, dengan keistimewaannya,
DIY tidak membebani anggaran pusat sebab DIY tetap diperlakukan seperti
provinsi lainnya. Tidak ada perbedaan perlakuan Gubernur DIY yang Sultan dengan
Gubernur lainnya dalam urusan dengan pemerintah pusat. Dengan demikian DIY
Istimewa tidak merugikan siapapun juga, utamanya masyarakat Yogyakarta, apalagi
masyarakat daerah lainnya. Satu hal lagi, DIY yang istimewa karena keberadaan
Kesultanannya, lebih terbuka kepada masyarakat luar daripada masyarakat
daerah-daerah lainnya di Indonesia, kalau di daerah lain apalagi era otonomi
maka serba pribumi utamanya untuk jabatan politik tetapi DIY, para
bupati/walikota apalagi DPRDnya sebagian besar adalah orang yang tidak
dikategorikan pribumi. Kalau demikian apakah tidak patut malah kita berbangga
dengan masyarakat DIY dengan sistem pemerintahannya. Setidaknya DIY adalah
laboratorium budaya pemerintahan yang hidup, dan nyata yang patut untuk
disyukuri.[7]
2.
Daerah
Istimewa Aceh
Sedikit kita menyinggung sejarah,
kalau daerah lain dapat ditundukan oleh Belanda, maka Aceh adalah kerajaan yang
tidak pernah mau tunduk pada Belanda juga Jepang, walaupun Belanda dan Jepang
tetap memerintah disana, mereka tidak bisa aman berada di Aceh, walaupun hampir
separuh rakyat Aceh dibantai oleh pasukan Marsose, pasukan khusus Belanda yang
sangat ganas. Belanda yang saat itu membunuh dan menyiksa tanpa mengenal HAM,
tidak sanggup menundukan Aceh. [8]
Aceh juga merupakan baris Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PDRI) , disaat semua wilayah RI dikuasai
kembali oleh Belanda, dan Presiden serta Wakil Presiden ditawan Belanda.
Tuntutan agar Aceh dijadikan Daerah Istimewa, sebenernya tidak terlepas dari
janji Presiden RI, Soekarno. Beliau menjanjikan kepada Teungku Muhamad Daud
Beureuh, tokoh masyarakat Aceh yang menjadi Gubernur militer dengan pangkat
Mayor Jenderal kemudian memilih masuk hutan dan memimpin pemberontakan DI/TII
di Aceh. Sikap yang di ambil Daud Beureuh ini tidak terlepas dari kekecewaannya
atas janji yang di ucapkan Bung Karno. Janji tersebut disampaikan oleh Bung
Karno pada saat ke Aceh untuk mengadakan kunjungan yang kemudian menghasilkan
dua pesawat seulawah.
Walaupun demikian pesawat yang
sebenarnya bisa dibeli lebih dari dua tersebut, malah terbeli cuma satu.
Belakangan diberitakan kalau uang tersebut telah dikorupsi oleh seorang perwira
TJR/TNI di Sumatera, yang orang nya telah meninggal dunia.
Pada saat mengajukan permintaan
tersebut, menurut keterangan Daud Beureuh bahwa Bung Karno menyanggupi, tetapi
saat diminta berjanji secara tertulis, Bung Karno meneteskan airmata, dengan
perkataan apalah gunanya beliau menjadi seorang presiden jika tidak dipercaya.
Melihat tersebut Daud Beureuh tidak mendesak lagi, tetapi tinggal menunggu
janji. Akan tetapi janji yang ditunggu tidak pernah kesampaian, yang ada adalah
Aceh dijadikan Kabupaten dari Provinsi Sumatera Timur. Keadaan ini memaksa Daud
Beureuh yang telahterlanjur mengabarkan kepada rakyatnya janji Presiden. Rasa
malu dan bersalah pada tokoh rakyat kemudian di manifestasikan dalam bentuk
perlawanan yang oleh banyak pengamat dikatakan setengah hati. Sebab setelah
Wakil Perdana Menteri Missi Hardi No. 1/Missi/1959 , yang mengatur bahwa Aceh
sebagai Daerah Istimewa dalam hal agama, adat istiadat, dan budaya, maka
pemberontakanpun berakhir dengan sendirinya.[9]
Keistimewaan sebagaimana yang
diberikan lewat Missi Hardi tersebut tidak pernah dijalankan, sebab ketika
pemerintah Aceh mengharapkan adanya peraturan pelaksanaan dari keputusan
tersebut , maka pemerintah pusat dengan berbagai dalih menolak.
Sampai
pada masa orde baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 dalam penyusunan awalnya
ada upaya untuk menghilangkan semua bentuk keistimewaan. Akan tetapi setelah
melalui perdebatan yang panjang, maka Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh tetap
diakui. Walaupun kalau DIY keistimewaannya terletak pada Sultan dan KGPA
Pakualam menjadi Gubernur dan Wagub, maka keistimewaan bagi Aceh hanyalah nama
tanpa sebuah isi. Keistimewaan dalam bentuk nama kosong tersebut juga diperoleh
setelah perjuangan Gubernur Aceh dan PPP (yang merupakan gabungan partai-partai
Islam, pasca pemilu 1971), dalam sidang-sidang perumusan UU No. 5 Tahun 1974.
Kejengkelan rakyat Aceh pada
pemerintah pusat semakin memuncak, setelah mereka menyaksikan lahan gas dan
minyak semakin banyak menelorkan uang ke Jakarta, sementara rakyat Aceh di
sekitarnya tidak mendapatkan apa-apa. Pemberontakan
pun meletus dan disebut GAM generasi kedua, yang konon menurut laporan Gubernur
Aceh Teuku Abdullah Hasan lebih berbahaya lagi dibanding GAM sebelumnya. Atas
informasi tersebut presiden Soeharto kemudian menempatkan personel militer
tambahan di Aceh dan kemudian Aceh pun resmi menjadi Daerah Operasi Militer (
DOM ).
Kisah Aceh bersimbah darah bukanlah
omong kosong, sebab sejak tahun 1873 sampai sekitar tahun 2000-an tidak ada
kedamaian yang penuh bagi rakyat Aceh. Ketika Gazali Adnan Abas, seorang wakil
rakyat darii Aceh pada saat sidang tahunan MPR RI tanggal 3 November 2001
meminta perhatian kepada sidang Paripurna karena Presiden Megawati hadir, untuk
memperhatikan Aceh yang sampai saat kini bersimbah darah, maka dengan nyata
kita saksikan sebagian anggota dewan yang terhormat meledek dan menghambat
upaya tersebut. Alasan bahwa masih banyak kasus lain yang lebih penting.
Melihat sikap para sebagian anggota
MPR yang mengabaikan rakyat Aceh, sehingga mengakibatkan pandangan masyarakat
Aceh bahwa mereka merasa tinggal sendiri di negara ini, mereka menyatakan buat
apa tinggal menyatu dengan saudara yang tidak memperhatikan kita dengan baik.
Ada saat tertentu dimana materi tidak lebih berarti dari kasih dan perasaan
senasib. Uang triliunan yang diperoleh Aceh karena otonomi khusus, malah akan
dirtikan dengan bahasa yang berbeda bahwa dengan otonomi khusus saja bisa
mendapatkan uang triliunan apalagi kalau merdeka dari indonesia?, otonomi khusu
bagi kalangan materialis berarti puncak dari segala tuntutan, tetapi bagi orang
yang beragama materi bukanlah tujuan utama bagi hidup.
Sinyalemen Tengku Hasan Tiro yang
mengatakan bahwa “ ......Indonesia adalah satu bangsa dimana ratap tangis
sebuah golongan menjadi tertawaan bagi golongan lain; di mana orang-orang yang
dianggap pahlawan oleh satu golongan dianggap pengkhianat oleh golongan
lainnya; dimana kekejaman terhadap satu golongan dipandang keadilan oleh
golongan lain;” solidaritas nasional” hanya ada dibibir dan poster-poster
saja.....” sinyalemn tersebut merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan
kebenarannya, tetapi juga tidak bisa digeneralisasi kebenarannya.
Kini dengan kehadiran UU No 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Nangroe Aceh
Darussalam, dapat menjadi awal terbangunnya kembali kesejahteraan dan keadilan
bagi masyarakat Aceh. Justru Aceh dan Papu memiliki andil yang besar dalam
melahirkan sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis dan desentralisasi
dewasa ini. Sehingga Aceh kini telah menyumbangkan kesejahteraan dan kebebasan
bagi warga Aceh sendiri, tetapi juga telah memberikan sumbangan bagi perubahan
sistem politik di negeri ini.
Penggunaan istilah “Pemerintahan
Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan suatu yang
tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Nasional. Berbeda dengan daerah
lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi
Khusus Aceh tidak menjumbuhkan istilah tersebut di dalam penyebutan nama
daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai dengan UUD 1945
maupun UU No. 32 Tahun 2004.[10]
Tidak terdapatnya istilah “daerah provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam
“Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan istilah “Pemerintah Republik Indonesia”
yang menunjuk pada makna pemerintahan sebuah negara, bukan sebuah daerah.
Istilah berbeda lainnya yang
terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang-undang lainnya misalnya
penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK,
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat
dalam UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah
“KPUD”.[11]
Aceh juga berhak
untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimakud dalam
ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Sedangkan berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Aceh yang lainnya,
Menurut pendapat R. Kranenburg yang menyatakan bahwa dalam negara serikat,
negara-negara bagiannya mempunyai kekuasaan untuk dapat mengatur sendiri
organisasi negaranya dalam batasan-batasan yang ditentukan konstitusi
federalnya.[12]
C.
Daerah
Khusus
Daerah khusus
adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat. Daerah yang termasuk daerah khusus adalah:
1.
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI) Jakarta
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
merupakan suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan
merupakan pusat segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sedangkan pusat pemerintah Negara merupakan
pusat dari badan-badan negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan
negara, serta pengawasannya diselenggarakan di Jakarta. Karena peranan
strategis yang sangat menentukan dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara ,
keamanan, ketertiban Ibukota dan seluruh wilayah DKI Jakarta harus terjamin
karena dampaknya akan sangat luas. Stabilitas segala aspek kehidupan masyarakat
Jakarta akan merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional, bahkan
merupakan citra kepada dunia internasional karena Jakarta adalah pintu gerbang
utama Indonesia. Bagi Pemerintah DKI Jakarta yang sedang melaksanakan
pembangunan di segala bidang tidak menutup kemungkinan menghadapi ancaman.
Pada tanggal 28 Agustus 1961
dikeluarkan Penpres No 2 tahun 1961 tentang Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya. Adapun alasan-alasan dikeluarkannya Penpres itu ialah:
a.
bahwa
Jakarta sebagai ibukota Negara patut dijadikan:
1)
kota
Indoktrinasi;
2)
kota
teladan; dan
3)
kota
cita-cita seluruh bangsa Indonesia
b.
bahwa
sebagai ibukota negara daerah Jakarta Raya perlu memenuhi syarat-syarat minimum
dari kota internasional dalam waktu sesingkat-singkatnya;
c.
bahwa
untuk mencapai tujuan itu kepada Jakarta Raya harus diberikan kedudukan yang
khusus sebagai daerah yang dikuasai Presiden.[13]
D.
Otonomi
Khusus
Otonomi Khusus
adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat. Istilah otonomi ini dapat diartikan sebagai
kebebasan rakyat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Salah satu hasil
perubahan UUD NRI Tahun 1945 yaitu dengan dijabarkannya secara lebih rinci
mengenai sistem pemerintahan daerah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 UUD
1945. Bagir Manan menyatakan bahwa perubahan Pasal 18 UUD 1945, baik secara
struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara
struktur, Pasal 18 (lama) sama sekali diganti baru.[14]
1.
Otonomi
Khusus Untuk Papua
Provinsi Irian Jaya kini juga
disebut Papua, merupakan wilayah RI yang
pengakuan dan penyerahannya dari Belanda tidak bersamaan dengan wilayah bekas
jajahan Hindia Belanda yang lainnya di Nusantara. Dalam perundingan di Den Hag,
disepakati bahwa wiliyah Irian Barat akan diserahkan satu tahun kemudian, atau
dalam sebagian informasi lainnya akan dibicarakan selanjutnya.
Irian Barat sengaja tidak diserahkan
pada Indonesia karena Belanda masih ingin mengambil keuntungan dari tanah Irian
Barat. Pendapat tersebut secara logis dapat dilihat, bahwa daerah jajahan Eropa
lainnya pasca perang dunia 2, kembali dapat diduduki oleh penjajah Eropa,
kecuali Belanda atas kepulauan Nusantara. Sehingga Belanda tetap ingin
menguasai Irian Barat agar tetap memiliki daerah perahan. Belanda menjadi
sangat baik, dengan membangun berbagai infra struktur baik pendidikan maupun
prasarana lainnya. Tetapi niat baik tersebut hanya sekedar mengambil hati
rakyat Irian Barat, agar membantu Belanda untuk melawan Indonesia yang mulai
menuntut penyerahan kembali Irian Barat. Pandangan Belanda saat itu adalah
meskipun Irian Barat merdeka, Irian Barat akan bersetatus menjadi negara
Dominion seperti Papu New Guinea dengan Australia, sehingga secara politik
Belanda akan tetap bercokol di kawasa Pasific. Terlepas dari itu bung Karno
dalam upaya merebut kembali Irian barat, mengeluakan Tri Kora ( 3 komando rakyat
) yang pada saat ke Irian Barat berpidato dihadapan Rakyat Papua yang salah
satu kata-katanya adalah “ mari membangun Irian Barat seperti wilayah Indonesia
yang lainnya.” Kehadiran Bung Karno membuat sebaguan rakyat Irian Barat
mendukung sepenuhnya penyatuan kembali wilayah Irian Barat dengan Indonesia. PEPERA
(penentuan pendapat rakyat) yang diadakan kemudian resmi diakui oleh PBB
sebagai kemenangan Indonesia. Walaupun dikemudian hari PEPERA banyak digugat
oleh sebagian masyarakat Indonesia dengan alasan dimanupilasi dan sebagainya.
Kejadian selanjutnya pasca
penyatuan, Indonesia dilanda kisis, baik politik maupun ekonomi, yang berujung
pada pergantian rezim kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Keadaan politik
dan ekonomi yang tidak menentu di Jakarta dengan sendirinya juga berimbas pada
wilayah Irian Jaya. Akan tetapi imbas yang diterima masyarakat Irian Barat
secara emosional jauh terasa lebih berat dan berbeda dari pada rakyat diwilayah
yang lainnya di Indonesia. Sebab Irian Barat yang baru saja beirntegrasi dengan
Indonesia, sebelumnya telah menerima fasilitas yang banyak dari pemerintah
Belanda setelah kembali bergabung kepada Indonesia, keadaan jadi sangat
berubah. Prasarana yang ada bukan hanya tidak bisa difungsikan, malah sebagian
peninggalan Belanda diambil oleh pegawai pemerintah Indonesia yang datang ke
Irian Jaya sebagai pegawai Negri atau militer yang buakn etnis Irian Jaya.
Masyarakat Irian Jaya jelas-jelas
merasa diperlakukan secara tidak adil ataiu merasa dijajah oleh Indonesia. Pada
masa akhir pendudukan Belanda di Irian Barat, banyak fasilitas masyarakat yang
diadakan, yang diwilayah lain baru ada setelah masa pembangunan. Setelah
peralihan barang-banrang Belandasamapi daun pintu peninggalan Belandapun diakut
dari Irian Jaya. Kekecewaan masyarakat Papua kemudian terakumulasi dalam bentuk
perjuangan bersenjata yang kemudian oleh ABRI disebut OPM ( Organisasi Papua
Merdeka ).
Mendapat perlawanan tersebut,
pemerintah pusat dibawah pimpinan Jendral Soeharto langsung dituduh separatis.
Dengan demikian terjadilah pertempuran antar sebagian kecil rakyat Irian Jaya
yang disebut OPM, dengan ABRI. Karena pertempuran dilakukan oleh militer dengan
rakyat yang tidak memiliki keterampilan bertempur maka rakyat Papua kemudian
merasakan sebagai tindakan Genocide atau penghilangan ras. Anggapan tersebut
sangat beralasan dan rasional. Sebab rakyat Irian dengan pola hidup yang sangat
tradisional dan bergantung pada alam akan sangat rentan terhadap penyakit, dan
orang-orang dewasa yang ada di pedalaman kemudian baik karena keinginan sendiri
maupun paksaan OPM, bergabung untuk melawan ABRI. Jelas kalau kematian akan
banyak diderita milisi OPM sebab keterampilan yang sangat jauh berbeda.
Sedangkan dengan matinya satu milisi berarti kehilangan satu ras dari etnis
Papua yang sangat sedikit dan sangat lamban pertumbuhannya. Selain itu apabila
ada anggota militer yang tertembak, maka ABRI akan menembaki dan memusnahkan
kampung-kampung penduduk yang hanya dihuni oleh anak-anak dan kaum wanita.
Salah satu kekhususan yang dimiliki
oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan
pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi sebagai
badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001 berbunyi sebagai
berikut:
“Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai
badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif”.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari penggunaan istilah
“legislatif dan eksekutif” dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) tersebut, yaitu:
a.
Dilihat
dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian
kekuasaan negara atau bagian dari alat kekuasaan negara. Menurut Sukardi bahwa
lembaga legislatif adalah lembaga pembentuk undang-undang dan produk hukum dari
badan legislatif adalah undang-undang. Sedangkan lembaga eksekutif adalah
lembaga pelaksana undang-undang. Pembagian kekuasaan negara kedalam badan
eksekutif dan legislatif tersebut juga seperti yang diajarkan oleh Jhon Locke
dan Montesquieu.[15]
C.F. Strong
menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak terbagi-bagi.
Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk undang-undang
selain badan pembentuk undang-undang pusat.[16]
Ada dua jenis legislasi, yaitu legislasi utama (supreme legislation) dan
legislasi delegasian (subordinate legislasi) atau delegated
legislation. Legislasi utama ditetapkan oleh lembaga pemegang kedaulatan
dalam negara. Sedangkan legislasi delegasian merupakan produk hukum dari
lembaga lain di luar lembaga pemegang kedaulatan. Di Indonesia, Peraturan
Daerah merupakan salah produk hukum dari delegated legislation.
Dari paparan di atas, penggunaan istilah “badan legislasi dan
badan eksekutif”, jenis badan legislasi tersebut. Penggunaan istilah “badan
legislasi dan badan eksekutif” adalah tidak lazim dalam sistem
perundang-undangan nasional. Walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
lainnya juga memiliki fungsi legislasi.[17] Akan
tetapi tidak disebutkan sebagai badan legislatif.
Penyebutan “badan legislatif dan
badan eksekutif” merupakan bentuk pembagian kekusaan dalam pemerintahan
Propinsi Papua yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah lainnya berdasarkan
UU No. 32 Tahun 2004 tidak menggunakan istilah “badan legislatif dan badan
eksekutif”. Dalam sistem otonomi daerah, kekuasaan yang dipencarkan
hanyalah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) saja. Sehingga tidak terdapat
pembagian atau pemisahan kekuasaan di daerah. Pemerintahan daerah yang terdiri
dari pemerintah daerah dan DPRD merupakan satu-kesatuan pemerintahan (mitra)
dan bukanlah bentuk pembagian atau pemisahan kekuasaan.
Dengan penggunaan istilah “badan
legislatif dan badan eksekutif” maka memiliki kesamaan dengan bentuk
pembagian kekuasaan dalam sebuah negara bagian dari bentuk negara federal.
Dalam negara federal, terdapat dua macam pemerintah, yaitu pemerintah negara
federasi dan pemerintah negara bagian.[18]
Oleh karena adanya dua macam pemerintah tersebut maka pembagian kekuasaan negara
juga berbeda antara negara federal dengan negara bagian. Sehingga badan
pembentuk undang-undangnya pun ada dua, yaitu badan pembentuk undang-undang di
negara federal dan badan pembentuk undang-undang di negara bagian. Produk hukum
badan legislatif federal disebut undang-undang federal sedangkan produk hukum
badan legislatif negara bagian disebut undang-undang negara bagian.
b.
Penggunaan
istilah “DPRP” juga tidak lazim dalam sistem perundang-undangan nasional
lainnya. Baik UUD Pasal 18 ayat (3) maupun UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut
dengan UU MD3, dengan jelas menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
Penggunaan istilah DPRP tanpa
ditambahi kata “daerah provinsi” menunjukkan kesamaan dengan penggunaan istilah
“DPR RI”. Istilah “RI” dalam DPR RI menunjuk pada nama negara Indonesia atau
tingkatan badan perwakilan tingkat pusat. Penggunaan istilah “daerah provinsi”
di akhir istilah “DPR” itu menunjukkan bahwa badan perwakilan tersebut berada
di tingkat daerah provinsi. Dengan tidak digunaknannya istilah “daerah
provinsi” dalam istilah “DPRP” maka secara a contrario itu berarti bahwa
DPRP “bukanlah” DPRD Provinsi sebagaimana DPRD Provinsi-Provinsi lainnya.
Dengan kata lain bahwa itu lebih merujuk badan perwakilan pada sebuah negara
bagian, bukan pada daerah dalam negara kesatuan.
c.
Provinsi
Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan
ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan
Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 29
ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat juga Peraturan Daerah
Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001. Jika
mengacu pada ketentuan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam ketentuan
Pasal 136 ayat UU No. 32 Tahun 2004, maka Perdasi merupakan produk hukum yang
tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) yang dimaksud oleh kedua
undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan pejabat yang berwenangan
membuat Perdasi adalah DPRP bersama dengan Gubernur.[19]
Dengan demikian, maka ada dua
tingkatan produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu
Perdasus pada tingkat yang lebih tinggi dan Perdasi pada tingkat yang lebih
rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat
dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan
pelaksananya.
Konsep negara kesatuan yang dianut
di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[20]
Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun
status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih
mengarah pada model bentuk susunan negara federal.[21] Pandangan
tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan argumentasi yang ditemukan dalam
undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam undang-undang yang menjadi
landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kedua daerah
otonomi khusus tersebut. Misalnya diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk
membentuk partai politik lokal, maupun disyaratkan bahwa hanya orang asli papua
yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kawasan khusus
adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut keinginan orang banyak
dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan pertahanan dan keamanan.
Daerah Istimewa
adalah daerah yang mempunyai aturan
pemerintahan khusus yang kadang-kadang menyimpang atau berbeda dari peraturan
umum. Daerah yang termasuk daerah istimewa adalah:
1.
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY)
2.
Nanggroe
Aceh Darussalam
Daerah khusus
adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat. Daerah yang termasuk daerah khusus adalah
Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan
suatu daerah khusus dengan peranan sebagai Ibukota Negara dan merupakan pusat
segala aspek kehidupan nasional yaitu idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan hankam. Sedangkan pusat pemerintah Negara merupakan pusat dari badan-badan
negara Indonesia, perencanaan, pengarah, pemerintahan negara, serta
pengawasannya diselenggarakan di Jakarta. Karena peranan strategis yang sangat
menentukan dalam kelangsungan hidup bangsa dan negara, keamanan, ketertiban
Ibukota dan seluruh wilayah DKI Jakarta harus terjamin karena dampaknya akan
sangat luas. Stabilitas segala aspek kehidupan masyarakat Jakarta akan
merupakan cermin bagi segala aspek kehidupan nasional, bahkan merupakan citra
kepada dunia internasional karena Jakarta adalah pintu gerbang utama Indonesia.
Bagi Pemerintah DKI Jakarta yang sedang melaksanakan pembangunan di segala
bidang tidak menutup kemungkinan menghadapi ancaman. Diberikan oleh Negara Republik
Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001
No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu
No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang
terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam
menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU
ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang
berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.
B.
Saran
Pemerintah
seharusnya lebih peka terhadap masalah yang berada di masyarakat bahkan untuk
pembagian daerah pun seharusnya di bagi secara adil agar dapat mengurangi
kesenjangan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Dan masyarakat pun
harus lebih bisa menangani permasalahan yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri karena di bangunnya otonomi salah satunya agar masyarakat dapat
mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
Azhari.
Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. 2009.
Chirstine,
Kansil. Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jakarta: Sinan Grafika.
2008.
Huda,
Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2005.
Kranenburg,
R. Ilmu Negara Umum. ditejemahkan Sabaroedin, Jakarta: Paradnya
Paramita. 1989.
Manan,
Bagir. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
FH-UII. 2005.
Soehino.
Ilmu Negara. Ed.3, Cet.3. Yogyakarta: Liberty. 2000.
Toet
Hendratno, Edie. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme. Jakarta:
Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press. 2009.
Undang-
undang pasal 18 UUD NRI Tahun 1945.
Undang-undang
Pasal 22E ayat (5) Tahun 1945.
Undang-undang
Pasal 1 angka 21 Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang
Nomor 32 Pasal 3 Tahun 2004.
Undang-Undang
Nomor 32 Pasal 41Tahun 2004.
Undang-undang
Pasal 1 angka 12 Nomor 11 Tahun 2006.
Undang-undang
Pasal 292 ayat (1) Nomor 27 Tahun 2009.
Widjaja,
HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2005.
[1] Prof. H. Rozali Abdullah, S.H, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2010, hlm. 7.
[2]Ibid., hlm. 9-10.
[3] Prof. Drs. HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 159.
[4]Ibid., hlm. 160.
[5] Azhari, SSTP,. M.Si, Sistem Politik Indonesia, Bandung: PT.
Refika Aditama, 2009, hlm. 130.
[6]Ibid., hlm. 132.
[7] Azhari, SSTP,. M.Si, op. cit. hlm. 134.
[8] Azhari, SSTP,. M.Si, loc. cit.
[9] Azhari, SSTP,. M.Si, op. cit. hlm. 135.
[10] Baik UUD NRI Tahun 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan
istilah Pemerintahan daerah provinsi. Lihat Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan
juga UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 3 dan seterusnya.
[11] Pasal 1 angka 12 UU No. 11 Tahun 2006 kemudian bandingkan dengan
istilah yang digunakan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 maupun Pasal
1 angka 21 UU No. 32 Tahun 2004.
[12] R. Kranenburg, Ilmu Negara Umum, ditejemahkan
Tk.B.Sabaroedin, Jakarta, Paradnya Paramita, 1989, hlm. 180.
[13] Kansil, Chirstine S.T., S.H., M.H,. , Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, Sinan Grafika, Jakarta, cet. 3, 2008, hlm. 50-51.
[14] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet.4,
Yogyakarta, Pusat Studi Hukum FH-UII, 2005, hlm. 7.
[15] Soehino, Ilmu Negara, Ed.3, Cet.3, Yogyakarta, Liberty,
2000, hlm. 109-117.
[16] Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi,
dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009,
hlm. 48.
[17] Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 41 menyebutkan bahwa DPRD
memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Lihat juga Pasal 292 ayat
(1) UU No. 27 Tahun 2009.
[18] Soehino, Ilmu Negara., Op. Cit. hlm. 227
[19] Pasal 7 ayat (2) huruf a UU No.10 Tahun 2004 berbunyi: “Peraturan
Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
dengan Gubernur”. Hal ini juga senada dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah
setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD”. Lalu bandingkan dengan Pasal
29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan :”Perdasi dibuat dan
ditetapkan DPRP bersama-sama dengan Gubernur”.
[20] Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 95.
[21] Edie Toet Hendratno, op. cit. hlm. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar