BAB
II
PEMBAHASAN
TEORI – TEORI HUKUM
A.
Pengertian
Teori dan Teori Hukum
Teori dalam dunia ilmu hukum sudah sangat penting keberadaannya,
karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori menurut
para ahli menganggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana
memahami sesuatu masalah dalam setiap ilmu pengetahuan hukum.
Menurut sarlito wirawan sarwono, teori adalah serangkaian hipotesis
atau prposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau
sejumlah gejala. pengertian ini pada prinsipnya sudah cukup menggambarkan
tentang apa yang dimaksud dengan teori, namun tidak berarti pengertian tersebut
adalah satu – satunya pengertian tentang teori.
Ada beberapa pakar ilmu pengetahuan memberikan pengertian tentang
teori sebagai berikut :
1.
M.
Solly. Lubis. Mengemukakan bahwa teori adalah engetahuan ilmiah yang mencangkup
penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan
2.
Ronny
Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa teori adalah serangkaian konsep, definisi,
dan proporsi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang
sistematis tentang suatu fenomena
3.
Kartini
kartono mengatakan bahwa teori adalah satu prinsip umum yang dirumuskan untuk
menerangkan sekelompok gejala yang saling berkaitan
Berdasarkan pengertian para sarjana diatas, masih mengandung
subjektivitas, tergantung dari sudut mana memandang substansi teori tersebut.
Begitu juga halnya dalam ilmu hukum yang begitu luas dimana hukum hamper
mengatur seluruh aspek kehisupan masyarakat. Oleh karena itu dalam ilmu hukum
terdapat berbagai aliran teori atau mazhab yang juga cenderung lahir dari segi
sudut pandang dari masing – masing sarjananya. Berbagai pertanyaan tentang
hakikat hukum misalnya, memunculkan teori para juris yang didasarkan pada
aliran pemikiran yang dianut.
Aliran teori pemikiran tersebut, oleh kalangan juris banyak yang
menyebutnya dengan teori hukum, diantaranya Satjipto Rahardjo. Yang menjelaskan
:
Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari
hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekostruksikan kehadiran teori hukum itu secara jelas. Pada saat orang –
orang mempelajari hukum positif, ia sepanjang waktu dihadapkan pada peraturan –
peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan permasalahannya seperti
kesahannya, penafsirannya, dan sebagainya
Aliran teori pemikiran dalam ilmu hukum timbul karena adanya
perbedaan sudut pandang antara sarjana hukum dalam mengkaji tentang hukum. Ada
sarjana mengkaji ilmu hukum itu dari sudut pandang sejarah, sosiologi,
filsafat, dan bahkan sari sudut hukum itu sendiri.
Pandangan dari sudut sejarah memandang bahwa hukum yang berlaku
sekarang ini berbeda dengan hukum pada waktu yang lampau dan mungkin juga
berbeda dengan hukum pada waktu yang akan datang. Pendekatan dari sudut
sosiologi mengkaji hukum itu hanyalah sebagai gejala masyarakat.
Dari sudut filsafat, hukum merupakan hasil pemikiran manusia yang
senantiasa berkembang sesuai dengan logika akal manusia. Adaun dari segi hukum
itu sendiri mencoba mempelajari dari segi hukum terlepas dari unsur – unsur
kebudayaan, politik, social, dan ekonomi.
Adapun aliran – aliran (mazhab) teori tentang hukum berdasarkan
sarjananya dapat dilihat antara lain seperti :
1.
C.
S. T. Kansil, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Mazhab
hukum alam
b.
Mazhab
sejarah
c.
Teori
teokrasi
d.
Teori
kedaulatan rakyat
e.
Teori
kedaulatan Negara
f.
Teori
kedaulatan hukum
2.
Pipin
Syarifin, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Ajaran
hukum alam
b.
Teori
perjanjian masyarakat
c.
Aliran
sejarah
d.
Teori
kedaulatan Negara
e.
Teori
kedaulatan hukum
3.
Soerjono
Soekanto, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Mazhab
formalistis
b.
Mazhab
sejarah dan kebudayaan
c.
Aliran
utilitarianisme
d.
Aliran
sosiological jurisprudence
e.
Aliran
realism hukum
4.
J.
B. Daliyo (dkk) aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Mazhab
hukum kodrat
b.
Mazhab
sejarah
c.
Mazhab
imperatif
d.
Mazhab
sosiologis
e.
Mazhab
fungsional
5.
Marwan
Mas, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Aliran
hukum alam
b.
Aliran
hukum positiveme dan utiliarianisme
c.
Aliran
historis
d.
Aliran
sosiologis
e.
Aliran
antropologis
f.
Aliran
realis
6.
Satjipto
Rahardjo, aliran mazhab teori ilmu hukum terdiri atas :
a.
Teori
– teori yunani dan romawi
b.
Hukum
alam
c.
Positiveme
dan utiliarianisme
d.
Teori
hukum murni
e.
Pendekatan
sejarah dan antropologis
f.
Pendekatan
– pendekatan sosiologis
g.
Realisme
baru
B.
Teori-teori
Hukum
Setelah membicarakan pendapat para sarjana tentang aliran – aliran
(mazhab) atau teori tentang hukum, berikut ini hanya akan dibahas aliran mazhab
yang dikemukakan oleh C. S. T. Kansil dan Satjipto Rahardjo.
1.
Teori-
Teori Yunani dan Romawi
Pada abad ke 5 sebelum masehi merupakan masa kemajuan, tingginya
tingkat perkembangan social, politik, dan spiritual dari Negara kota di yunani
yang memunculkan problem kehidupan politik dan sosial sehingga pada satu abad
kemudian yakni abad ke 4 sebelum masehi para filsuf besar memulai insfaf
tentang peranan manusiadalam memberntuk hukum seperti :
a.
Socrates
menuntut supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang
melebihi manusia
b.
Plato
dan Aristoteles sudah mulai mempertimbangkan manakah aturan yang adil yang
harus dituju oleh hukum, walaupun mereka tetap juga mau taat pada tuntutan
alam.
Plato banyak menulis buku yaitu :
a.
Politcia
(Negara)
b.
Politokos
(ahli Negara)
c.
Nomoi
(undang-undang)
Aristoteles adalah murid Plato. Mengenai hakikat Negara aristoteles
berpendapat bahwa Negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya agar
mereka dapat hidup baik dan bahagia, menurutnya hukum dibagi menjadi dua
kelompok :
a.
Hukum
alam atau hukum kodrat yang mencerminkan aturan alam.
Hukum
alam ialah merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah,
karena kaitannya dengan aturan alam
b.
Hukum
positif yang dibuat manusia
Pembentukan
hukum ini selalu harus dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip equity
(kesamaan) yang kemudian melahirkan keadilian distributif dan keadilan
korektif.
Pada zaman romawi perkembangan ilmu hukum sudah mulai dikembangkan
cicerio (106-43SM). Konsep hukum alam ini diartikan sebagai prinsip yang
meresapi alam semesta, yaitu akal, yang menjadi dasar dari hukum keadilan. Kemudian
cicerio membicarakan hubungan hukum alam dan hukum positif. Hukum positif harus
didasarkan pada asas – asas hukum alam, jika tidak demikian halnya dan hukum
positif bertentangan dengan hukum alam maka ia tidak mempunyai kekuatan dalam
undang – undang.
Dalam perkembangan berikutnya, gaius membedakan antara ius civile (
yang berlaku khusus untuk suatu Negara tertentu) dengan ius gentium yakni suatu
hukum yang diterima semua bangsa sebagai dasar kehidupan bersama yang beradab.
Hukum romawi mengalami perkembangan pada kekaisaran Roma Timur atau Byzantium,
lalu diwarisi kepada generasi selanjutnya dalam bentuk suatu kodek huku.
Pada tahun 522-534 M seluruh perundangan kekaisaran romawi
dikumpulkan dalam suatu Kodeks atas perintah Kaisar Yustinianus. Kodeks itu
dinamakan juga Codex luris Romani, atau Codex lustinianus, atau Corpus
luris Civilis (CIC). Kemudian kodeks ini diresepsi dalam hukum
negara-negara Eropa ada abad ke-15 dan 16. Melalui jalan Romawi kuno menjadi
sumber utama dari hukum perdata modern.
2.
Teori
Hukum Alam
Lahirnya hukum alam pada
dasarnya merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang
dinamakan absolute justice
(keadilan yang mutlak) di samping sejarah tentang kegagalan umat manusia
dalam mencari keadilan tersebut. Selama sekitar 2.500 tahun yang lalu, muncul
pemikiran tentang hukum alam dalam berbagai bentuknya, sebagai suatu ungkapan
untuk mencari hukum ideal yang lebih tinggi dari hukum positif.
Upaya mencari hukum yang
lebih ideal ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ajaran hukum alam
telah banyak dipergunakan oleh pelbagai bagian masyarakat dan generasi, untuk
mengungkapkan aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam
dapat dipergunakan sebagai senjata untuk perkembangan politik dan hukum.
Aliran hukum alam menyebut “hukum itu langsung bersumber dari
Tuhan, bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh
dipisahkan”. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan Zeno (pendiri
aliran stoic).
Pada prinsipnya bahwa penganut hukum alam memandang hukum dan moral
merupakan pencerminan dan pegaturan secara internal dan eksternal dari
kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak
teori di dalamnya yang memunculkan dari masa ke masa. Oleh karena itu, tidak
mustahil di antara para ahli hukum terdapat perbedaan pandangan, penilaian
dalam menafsirkan, dan mengartikan hukum alam tersebut. Hal ini di antaranya
dapat dilihat sebgai berikut.
a.
Soedjono
Dirdjosisworo menjelaskan, bahwa hukum alam adalah ekspresi kegiatan dari
kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak.
b.
Surojo
Wignjodipuro mengatakan, bahwa hukuma alam adalah hukum yang digambarkan
berlaku adil, sifatnya kekal (tidak dapat dirubah lagi), berlaku dimana pun dan
pada zaman apa pun juga.
c.
Aristoteles
dalam C.S.T Kansil mengatakan, bahwa hukum alam adalah hukum yang oleh
orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.
Kemudian Thomas Aquinas (1225-1274) sebgai salah satu penganut
hukum alam dari aliran scholastik pada pertengahan, memadukan ajaran
Aristoteles dengan dogma agama kristen.
Menurut Thomas Aquinas bahwa dunia ini diatur oleh akal ketuhanan,
hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam
empat golongan, yaitu :
a.
Lex
Aeterna, rasio Tuhan
sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum.
Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia;
b.
Lex
Divina, bagian dari
rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia bedasarkan waktu yang
diterimanya;
c.
Lex
Naturalis, hukum alam,
yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia;
d.
Lex
Positivis, hukum yang
berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan
syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum positif ini terdiri
atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan seperti terdapat dalam kitab-kitab
suci dan hukum positif buatan manusia.
Mengenai konsepsi tentang hukum alam (lex naturalis) ini,
Thomas Aquinas membagi asa hukum alam (lex naturalis) itu dalam dua
jenis, yaitu (a) principia prima, dan (b) principcia scundaria. Principcia
prima merupakan norma kehidupan yang berlaku fundamental, universal, dan
mutlak serta kekal (berlaku bagi segala bangsa dan masa).
Adapun principcia scundaria, yaitu norma-norma kehidupan
yang diturunkan dari principcia prima tidak berlaku mutlak dan dapat
berubah menurut tempat dan waktu.
Dengan demikian, principcia scundaria itu adalah penafsiran
manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principcia prima.
Penafsiran manusia itu bermacam-macam, dapat baik atau buruk. Karena
kadang-kadang ditafsirkan dengan tujuan untuk kepentingan sendiri, principcia
secundaria ini tidak mengikat masyarakat umum. Akan tetapi, baru dapat
mengikat secara umum apabila hukum positif memberikan kepada norma-norma ini
kekuasaan mengikat misalnya dalam bentuk undang-undang.
Dalam kiprahnya, aliran hukum alam senantiasa berpedoman bahwa
hukum yang benar adalah hukum yang berasal dari Tuhan, sebagai hukum kodrat
yang sesuai dengan alam kemudian dicurahkan ke dalam jiwa manusia, suatu hukum
yang abadi dan tidak berubah-ubah.
Pada hakikatnya, menurut teori hukum alam pada kaedah yang sifatnya
universal. Ia selalu merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dan eksis
daripada hukum postif. Hukum alam sebagai kaedah yang bersifat universal,
abadi, dan berlaku mutlak, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan
eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masaha hak asasi
manusia (HAM).
Pada abad ke-17 muncullah seorang yang meletakkan dasar bagi hukum
alam modern, yaitu Huge de Groot (Grotius 1583-1645) dengan karyanya De jure
Belli ac Pacis (hukum perang dan damai) menjadikan akal sebgai barang yang
sama sekali berdiri sendiri, dasar baru untuk pandanganya tentang negara dan
hukum.
Huge de Groot berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal
manusia, yaitu pencetusan dari pikiran manusia, apakah sesuatu tingkah laku
manusia dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima
atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku
manusia itu satu denga lainnya harus didasarkan asat kesusilaan alam tersebut.
Thomas Hobbes (1588-1679) dengan karyanya De Cive (tentang
warga negara), dan Leviathan or the Matter, Form and Power of a
Commonwealth, Ecclesiastical and Civil (Leviathan, atau pokok, bentuk dan
kekuasaan suatu hidup bersama, baik gerejani maupun sipil), John Locke
(1632-1704) dengan karyanya Two Treatises of Civi Goverment (dua
karangan mengenai pemerintahan sipil), dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
dengan karyanya Du Contract Social ou Principes du droit Politique (tentang
kontrak sosial atau prinsip-prinsip hukum politik).
Ketiga ahli pikir tentang negara dan hukum di atas merupakan
pelopor teori perjanjian masyarakat (sosial contract). Menurut
perjanjian masyarakat bahwa hukum dibentuk bedasarkan perwujudan kemauan orang
dalam masyarakat bersangkutan yang ditetapkan oleh negara (yakni alat
perlengkapannya), yang mereka bentuk bersama karena suatu perjanjian, dan orang
menaati hukum karena perjanjian tersebut.
Selanjutnya, pada abad ke-19 Rudolf Stammler (1856-1939 juga
termasuk kedalam aliran hukum alam. Dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan
manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat,
akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap tempat dan
waktu. Rudolf Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak
pada dapat tidaknya hukum itu hukm itu memenuhi memenuhi kebutuhan manusia.
a.
Keseriusan
umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal esensi yang
berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam
yang bersifat abadi sebagai dasar dan alasan bagi hukum positif untuk
memperoleh kekuatan mengikat. Instrumen utama pada saat hukum perdata Romawi
kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem Internasional yang luas.
b.
Menjadi
senjata yang dipakai oleh kedua pihak yaitu pihak gereja dan kerajaan, dalam
pergaulan antara mereka.
c.
Atas
nama hukum alamlah kesaha dari hukum Internasional itu ditegakkan.
d.
Menjadi
tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasaan individu
berhadapan dengan absolutisme.
e.
Dijadikan
senjata peleh para hakim Amerika, pada waktu mereka memberikan tafsiran
terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melaui
perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi.
Dengan demikian, fungsi hukum alam terhadap hukum positif, menurut
Soedjono Dirdjosiworo adalah sebgai berikut :
a.
Hukum
alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif.
b.
Hukum
alam sebagai inti hukum positif seperti hukum Internasional.
c.
Hukum
alam sebagai pembenaran hak asasi manusia.
Selanjutnya, oleh Friedmann dalam Satjipto
Rahardjo, mengemukakan bahwa fungsi hukum alam adalah sebgai berikut :
3.
Mazhab
atau Aliran Sejarah (Historis)
Mazhab atau
aliran sejarah (historis) timbul dan tumbuh, sebagai suatu reaksi terhadap dua
kekuatan yang berkuasa dari zamannya, yaitu sebagai berikut :
a.
Rasionalisme
dari abad ke-18 dengan kepercayaannya kepada hukum alam, kekuasaan akal dan
prinsip pertama, yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori
hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, ciri khas
nasional, dan kondisi sosial.
b.
Kepercayaan
dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap kekuasaan dan
tradisi, kepercayaannya pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas
keadaan-keadaan, pesa kosmopolitannya.
Masalah konkret
yang menimbulkan pikiran dasar aliran (mahzab) sejarah (historis) ini dimulai
dengan Fiederich Carl von Savigny (1779-1861), dengan karangannya berjudul Vom
Beruf Unserer Zeit Zur Gesetzgebung und zurRechtswissenschaft (tentang
tugas pada zaman kini di bidang perundang-undangan dan ilmu hukum), sebagai reaksi
atas ide Thibaut seorang guru besar (profesor) dari Universitas Heidelberg,
yang sangat tepengaruh oleh kodifikasi hukum Prancis (Code Civil Prancis),
dan ia menganjurkan agar diadakan kodifikasi hukum Jerman.
Menurut von
Savigny bahwa hukum merupakan pencerminan dari jiwa atau semangat sesuatu
bangsa (volksgiest). Jiwa (semangat) bangsa menjelma dalam bahasa, adat
kebiasaan, susunan ketatanegaraan, dan hukum bangsa itu. Aliran (mahzab)sejarah
menolak pengagungan terhadap akal (rasio) manusia. Hukum tidak dibuat,
melainkan diteruskan dalam masyarakat. Hukum masa lalu, serta menganggap
peranan ahli hukum lebih penting daripada pembuat undang-undang.
Aliran (mahzab)
sejarah ini membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah tata
hukum yang pernah terjadi di dunia, dengan demikian mengembangkan pengertian
bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan dengan masa lampau. Di lain pihak,
Puchta (1798-1846) salah seorang murid van Savigny berpendapat :
Hukum
berasaskan pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun menurut ikatan
materiilnya. Artinya, hukum timbul dan berlaku karena terikat pada jiwa bangsa.
Timbulnya hal itu dalam dalam tiga bentuk. Hukum timbul dari jiwa bangsa secara
langsung dalam pelaksanaannya (dalam adat istiadat orang-orang), secara tidak
langsung hukum timbul dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang dibentuk
oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum (yang merupakan karya ahli
hukum).
Kemudian
Puchta, dalam Dias secara tegas mengatakan bahwa, hukum tumbuh bersama-sama
dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari
rakyat, dan pada akhirnya mati apabila bangsa kehilangan kebangsaannya.
Ajaran pokok
mazhab sejarah (historis) sebagaimana diruaikan oleh Savigny dan beberapa
pengikutnya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hukum
ditemukan, tidak dibuat. Ada pandangan pesimistis tentang perbuatan manusia.
Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis
oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan
adat kebiasaan.
2.
Karena
hukum berkembang dari hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat
primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam beradaban modern, kesadaran umum
tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi
disajikan oleh para ahli hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara
teknis. Ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umu, terikat pada
tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah
perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir. Oleh karena itu, ahli hukum
sebagai badan pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat
undang-undang itu sendiri.
3.
Undang-undang
tidak berlaku atau dapat diterapkan secara unversal. Setiap masyarakat mengembangkan
hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan
konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar.
Juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat dan daerah lain. Volksgeist
dapat dilihat dalam hukumnya, oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti
evolusi Volksgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
4.
Teori
Teokrasi
Teori teokrasi ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu
antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Teori ini mengajarkan bahwa hukum berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan harus
Tunduk pada hukum. Perintah yang datang dari Tuhan dituliskan dalam kitab Suci,
tinjauan mengenai hukum dikaitkan dengan
kepercayaan dan agama, dan ajaran tentang legitiminasi kekuasaan hukum
didasarkan atas kepercayaan dan agama
Penganut teori teokrasi ini antara lain adalah Agustinus, Thomas
Aquinas, dan Marsilius. Agustinus mengajarkan bahwa yang menjadi wakil Tuhan di
dunia adalah Paus. Adapun Thomas aquinas mengajarkan bahwa Raja dan Paus
mempunyai kekuasaan yang sama, hanya bidangnya yang berbeda. Tugas raja dalam
bidang keduniaan, sementara paus bertugas dalam bidang keagamaan. Kemudian
Marsilius mengatakan bahwa kekuasaan atau yang menjadi wakil Tuhan di dunia
adalah raja.
5.
Teori
Kedaulatan Rakyat
Menurut teori ini, kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat yang
diselengarakan memelui perwakilan berdasarkan suara terbanyak. Negara berdasar
ataskemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan
adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut. Teori kedaulatan rakyat menjelaskan
bahwa hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah menyerahkan kepada
suatu organisasi bernama negara yang terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi
tugas membentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat
Penganut teori ini diantaranya adalah Jean Jacques Rousseau yang
dalam karanganya berjudul le contract social, yang mengajarkan bahwa dengan
perjanjian masyarakat, orang meyerahkan kebebasan hak serta wewenangnya kepada
rakyat seluruhnya, sehingga suasana kehidupanya alamiah berubah menjadi suasana
kehidupan bernegara dan natural liberty berubah
menjadi civil liberty
6.
Teori
Kedaulatan Negara
Menurut paham ini, kekuasaan hukum tidk dapat didasarkan kemauan
bersama seluruh masyarakat, tetapi hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan
negara. Adanya hukum karena adanya negara. Oleh karena itu kekuasaan tertinggi
harus dimiliki oleh negara.
Teori kedaulatan negara ini dipelopori oleh Hans Kelsen dalam
karyanya berjudul Reine Rechtehre, mengatakan bahwa hukum adalah tidak lain
dari pada kemauan negara. Menurut Hans Kelsen, orang taat pada ukum karena ia
merasa wajib menaatinya sebagai perintah negara, bukan karena negara
menghendakinya.
7.
Teori
Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum timbul sebagai reaksi penyangkalan terhadap
teori kedaulatn negara yang mengatakan, bahwa kedudukan hukum lebih rendah dari
pada kedudukan negara. Negara tidak tunduk kepada hukum, karena hukum diartikan
sebagai perintah dari negara. Pelopor teori kedaulatan hukum ini di antaranya
adalah Leon Duguit dalam bukunya Traite bde Droit Constitusionel, dan H. Krabbe
dengan karyanya Kristische der Staatslehre dan juga bukunya Die lehre der
Rechtssouvereinitet. Menurut H. Krabbe bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi
dalam negara adalah hukum.
Pandangan H. Krabbe tesebut ditanggapi oleh jellinek dengan
megemukakan teori Selbstbindung. Yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa
negara dengan sukarela menyatakan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada
hukum sebagai penjelmaan sari kehendaknya ssendiri. Hukum tidak timbul dari
kehendak atau kemauan negara. Dengan demikian, berlakunya hukum terlepas dari
kemauan negara.
8.
Aliran
Hukum Positivisme atau Utilitarinisme
Aliran positivisme ini muncul pada abad ke-19 dengan pemikiran yang
kritis terhadap idealisme yang terdapat dalam pemikiran hukum alam. Dengan
melihat lebih banyak kepada realitas yang berkembang pada masa ittu. Aliran
positivisme mengatakan bahwa kaedah hukum hagnya bersmber dari kekuasaan negara
yang tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaedah
sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya
Dengan mengutip pendapat Hart, dari W. Friedmann membedakan lima
arti dari positivisme, yaitu:
1.
Anggapan
bahwa undang-undang adalah perintah manusia
2.
Anggapan
bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan morl atau hukum yang ada dan
yang seharusnya ada
3.
Aggapan
bahwa manusia (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a)layak dilanjutkan,dan (b)harus dibedakan
dari penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal usul dari undang-undang
dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya
4.
Anggapan
bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup dimana putusan hukum yang
tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang
telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengikat tuntutan sosial, kebijaksanaan,
dan norma moral
5.
Anggapan
bahwa penilain moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan seperti halnya
dengan pernyataann tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau
bu mkti
Selanjutnya, Austin menjelaskan bahwa hukum adalah perintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah mana dilaksanakan oleh
makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Hukum secara tegas
dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik
atu buruk, namudibn didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi (penguasa)
Kemudian
John Austin membagi hukum itu kedalam dua bagian, yaitu :
a. Hukum yang dibuat oleh tuhan dan
b. Hukum yang disusun oleh umat manusia
Hukum
yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dalam :
a.
Hukum
yang sebenarnya
b.
Hukum
yang tidak sebenarnya
Hukum yang
sebenarnya yang disebut juga dengan istilah hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat ooleh penguasa, misalnya undang-undang dan peraturan pemerintah, serta
hukum yang dibuat oleh rakyat secara individual, yang dapat digunakan untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya
adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini
tidak dibuat oleh penguasa, atau badan berdaulat yang berwenang. Misalnya
ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan atau atau badan-badan tertentu dalam
bidang keolahragaan dan mahasiswa
Unsur perintah ini berartiada satu pihak menghendaki agar pihak
lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian, pihak lain yang
diperintahkan akan mengalami penderitaan apabila pemerintah tersebut tidak
dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap
yang diperintah
Ajaran
pokok Austin dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Ajaranya
tidak berkaitan dengan penilaian baik buruk, sebab penelitian ini berada di
luar bidang hukum
2.
Apa
yang dimaksudkan dengan kaedah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum,
walau diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat
3.
Pndanganya
bertetangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mahzab sejarah
4.
Hakikat
hukum semata-mata adalah perintah, semua hukum positif merupakan dari penguasa
yang berdaulat
5.
Ajaran
Austin dan aliran hukum positif pda umumnya kurang atau tidak memberikan tempat
bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
John Austin sering disebut bapak hukum inggris , selanjutnya, teori
Austin ini dikembangkan lebih lanjutB oleh para ahli hukum jerman seperti
Roudif von Jherig dan Georg Jellink. Kemudian Prancis oleh Francois Geny, hanya
saja baik Jeremy Bentham, Rudolf von Jhering, bersama-sama John Stuart Mill,
para pakar lebih cenderung mengolongkanya kedalam aliran utilitarianisme.
Jeremy Benthan menerapkan salah satu prinsip dari aliran
utilitarianisme kedalam lingkungan hukum. Khususnya tentang kejahatan dan
pemindaan. Bentham berpendapat bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan
kenikmatan, dan menekan serandah-rendahnya pengeritaan. Ukuran baik buruknya
suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat
mendatangkan kebahagiaan atau tidak.
Kemudian bertham lebih lanjut mengatakan bahwa pembentuk hukum atau
undang-undang seyoginya dapat menciptkan hukum atau undang-undang yang dapat
mencerminkan keadilan bagi semua warga masyarakat secara individual.
Beda dengan Bertham , yaitu Roudolf dikenal sebagai pencetus teori
yang disebut sicial utilitarianisme, dengan mengembangkan antara pikiran
Bentham d Jhon Struart Mill degan hukum Austin
Hasil studi Jhering terdapat hukum Romawi, ilmu hukum yang
menekankan pada teknik penyeempurnaan konsep-konsep.
Kemudian Von Jhering mengangap :
Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuanya.
Hukum sebagai sarana untuk megendalikan individu-individu, agar tujuanya sesuai
degan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum juga merupakan
suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan sosial.
Menurut Jhering
teknik hukum merupaka metode yang digunakan para ahli hukum untuk menguasai
hukum positif secara rasional, agar hukum dapat diterapkan secara tepat
terhadap setiap perkara tersebut
Tokoh lain dari
aliran ini adalah Jhon Stuart Mill , yang pendapatnya sejalan dengan Jeremy Bertham
. kesatuan pendapat
9.
Teori Hukum Murni
Ide mengenai Teori Hukum Murni (The Pure
Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka
dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11
Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke
Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya
sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi
hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu
sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua
pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah
bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk
reduksi atas hukum.
Yurisprudensi ini
dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri
sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodologikal dasar dari
filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya
merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hukum
dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka metodologi yang reduksionis
semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas
permasalahan metodologi saja.
a.
Norma Dasar
Menurut Kelsen, hukum
adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
“seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia
yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang
ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada
ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen.
Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan
“seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah.
Kemudian, bagaimana
mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk
menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan sederhana ; kita
menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu. Saat
“seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal
intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition
yang merupakan pengandaian.
Sebagai oposisi dari
norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma
hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana
sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai
dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum
baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic
Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum
tertinggi.
Kelsen sangat skeptis
terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kedua,
Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Nrma Dasar adalah sebuah
kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah
bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama
adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan
perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa
seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan
bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus melakukan presuppose
Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan sebuah
komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
b. Nilai
Normatif Hukum
Nilai normatif Hukum
bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif agama. Norma agama,
sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan aktual dari para
pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana norma
hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak
ada instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum
bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya bahwa “perturan legal
dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu secara
aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari
Norma Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah
berkali-kali ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah
revolusi yang mampu merubah kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada
aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan skeptis David Hume
atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya. Pandangan
yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah
sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan
presuppose atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas
Norma Dasar tidak akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami
bagaimana normatifitas bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan
yang tidak berdasar.
Hans Kelsen meninggal
dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya, dan
beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen
tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga dalam
positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik
ideology. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran
hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of
International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek
terpenting dari hukum internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran
atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum validitas dan fungsi
esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya
10. Aliran
Sosiologis
Menurut aliran ini, hukum merupakan hasil interkasi social dalam
kehidupan di masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karena perkembangan
hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat. Aliran ini dipelopori oleh Hammaker,
Eugen Efrilich dan Max Weber.
Menurut aliran ini,hukum tidak perlu diciptakan oleh Negara. Karena
hukum bukan merupakan pernyataan-pernyataan, tetapi terdiri dari
lembaga-lembaga hukum yang diciptakan oleh kehidupan golongan-golongan dalam
masyarakat.
a.
Tahap
Tradisional
1)
Bentuk
legitimasi,yaitu tradisional,otoritas pribadi raja atau ratu.
2)
Bentuk
administrasinya,yaitu patrimonial,dan turun temurun.
3)
Dasar
ketaatannya,yaitu tradisional dan beban kewajiban yang sifatnya individual.
4)
Bentuk
proses peradilannya,yaitu empiris,substantif,da personal (khadi)
5)
Bentik
keadilannya adalah empiris.
6)
Tipe
pemikiran hukumnya formal irasioanal,dan substantive rationality
b.
Tahap
karismatik
1)
Bentuk
legitimasinya yaitu otoritas yang kharismatik dengan kesetiaan personal
2)
Bentuk
administrasinya yaitu tidak mengenal administrasi,hanya mengenal rutinitas dan
charisma
3)
Dasar
ketaatannya,yaitu respons terhadap karakter yang bersifat sosio psikologi dari
individu
4)
Bentuk
proses peradilannya,yaitu pewahyuan (relevations) dan empirical justice
formalism.
5)
Bentuk
keadilannya yaitu keadilan kharismatik
6)
Tipe
pemikiran hukumnya yaitu formal irasional dan substantive rationality.
c.
Tahap
Rational Legal
1)
Bentuk
legitimasinya yaiu rational legal.Otoritas bersumber pada system hukumnya, yang
diperankan secara rasional dan sadar.
2)
Bentuk
administrasinya,yaitu birokrasi dan profesional.
3)
Dasar
ketaatannya yaitu impersonal
4)
Bentuk
proses peradilannya yaitu rasional yang dilaksanakan secara rasional yang
abstrak melalui professional.
5)
Bentuk
keadilannya yaitu keadilan social
6)
Tipe
pemikiran hukumnya yaitu substantive rationality
Roscoe Pound (1870-1964) adalah penggagas pemikiran aliran
Sosiological Jurispudence yang berkembang dan menjadi popular di Amerika
Serikat.Roscoe Pund juga tokoh mazhab fungsional.
Menurut Roscoe Pound hukum harus dilihat atau dipandang sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social.
Untuk itu Pound mengemukakan fungsi hukum sebagai rekayasa social (social
engineering), dalam melindungi kepentingan dalam masyarakat,baik kepentngan
umum (public interest),kepentingan social (social interest) maupun kepentingan
pribadi (individual interest).
Disamping itu Pound mengemukakan hukum yang berlaku/hukum sebagai
proses (law in action) mungkin sangat
berbeda dengan hukm yang terdapat dalam buku-buku hukum atau kitab-kitab hukum
(law in the books).
Dengan demikian, Roscoe Pound menganjurkan agar para sarjana hukum
mempelajari akibat social yang ditimbulkan oleh lembaga hukum. Para sarjana
hukum hendaknya mengadakan peraturan
hokum yang efektif bagi tuuan untuk apa
peraturan hukum itu di buat.Dalam melakukan social engineering hukum harus
dikembangkan terus menerus agar selalu selaras dengan nilai-nilai social yang
selau berubah.
Apabila diperhatikan pemikiran aliran sosiologis dengan aliran
positivisme, terdapat persamaan dan perbedannya. Adapun persamaannya adalah
terletak pada objek kajiannya, yaitu hukum tertulis, sedangkan perbedaanya
dapat dilihat sebagai berikut:
a.
Pada
aliran positivisme melihat hokum sebagai norma yang tertulis yang ada dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) sebagai suatu yang ideal, sedangkan
pada aliran sosiologis melihat hukum sebagai kenyataan social (law in action).
b.
Pada
aliran positivisme melihat ukum sebagai suatu yang otonom, sedangkan pada
aliran sosiologis melihat hokum itu sesuatu yang tidak otonom, karena selalu
dipengaruhi oleh factor yang ada diluar hukum (factor nonhukum) misalnya factor
ekonomi,politik, social, dan budaya.
c.
Pada
aliran positivism senantiasa membicarakan hokum tentang apa yang seharusnya
(das sollen) sedangkan pada aliran sosiologis selalu mengkaji hukum dalam
kenyataan yang ada di dalam kehidupan social masyarakat (das sein).
d.
Pada
aliran positivisme melihat keberadaan hokum secara yuridis dogmatic, yakni
dogma yang harus diikuti secara prosedur dan serba kaku. Sedangkan pada aliran
sosiologis melihat keberadaan hukum secara empiris sosiologis yang senantiasa
memandang hukum sebagai norma yang harus memenuhi tata keadilan masyarakat secara
luas (keadilan substansial).
e.
Pada
aliran positivisme pendekatannya menggunakan metode perspektif, yakni
mengharapkan hokum positif dan penerapannya selalu diterima oleh warga
masyarakat, sedangkan pada aliran sosiologis pendekatannya dengan menggunakan
metode deskriptif, yakni mengkaji hukum dengan cara survey lapangan, observasi
perbandingan,analisa statistic,dan metode eksperimen.
11. Aliran
Antropologi
Menurut aliran antropologi,hokum adalah norma yang tidak tertulis
yang tumbuh dan hidup secara nyata dalam masyarakat seiring dengan perkembangan
budaya. Penganut aliran ini adalah Sie Hendry Maine,Redellife-Brown, Malinowski,Paul
J.Bohannan, dan E.A.Hoebel menunjukan hal tersebut meskipun dengan beberapa
perbedaan dan penekanan tertentu.
Sir Hendry Maine (1822-1888) membedakan antara masyarakat yang
statis dan progresif. Masyarakat yang progresif adalah yang mampu mengembangkan
hukum melalui tiga cara,yaitu fiksi,equality,dan perundang-undangan.
Masyarakat yang statis lebih menekankan kepada status quo, didasarkan pada kedudukan
(status) sesorang dalam masyarakat.
Berbeda dengan Savigny, Maine menyukai perundang-undangan dan
kodifikasi. Dengan demikian,Maine tidak sependapat konsep volksgeist dari
Savigny. Tesis Maine yang terkenal adalah perubahan masyarakat menjadi
progresif ditandai dengan perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh
status kepada kontrak. Salah satu aliran pemikiran yang ada pada antropologi
modern yang cukup menarik perhatian para ahli hukum adalah aliran kultural
fungsional.
Aliran kulturan fungsional dari aliran antropologi, menurut
Satjipto Rahardjo yaitu :
Satu-satunya
cara untuk menjelaskan masyarakat secara seksama adalah dengan mengamati dan
merumuskan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga dalam kerangka kebudayaan. Dengan
cara demikian itu,totalitas dari system kultural sera kaitan-kaitan antara
unsur-unsurnya muncul.
Redellife-Brown mengartikan hukum sebagai control social melalui
peetapan secara sistematis kekuatan masyarakat yang diorganisasikan secara
politik.Paul J. Bohannan mengatakan bahwa pada dasarnya hukum adalah suatu
pelembagaan kembali (reinstitutionalization) kebiasaan dalam masyarakat.
Jadi hukum adalah kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali
untuk memenuhi tujuan yang terarah dalam kerangka apa yang disebut hukum.
Dengan melalui pelembagaan kembali, ia digarap secara khusus sehingga
memperoleh bentuk yang dapat dikelola secara hukum.
E.A Hoebel menyatakan bahwa melakukan fungsi-fungsi yang esensial
untuk mempertahankan masyarakat,yaitu sebagai berikut :
a.
Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya
berprikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat.
b.
Menetralisasikan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat,sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan
ketertiban.
c.
Mengatasi
persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali.
d.
Merumuskan
kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan anatara warga masyarakat dan
kelompok,apabila terjadi berbagai perubahan. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan kemampuan beradaptasi.
12. Aliran
Realis
Gerakan pemikiran aliran realis dalam ilmu hukum timbul di Amerika
Serikat dan Skandinavia. Kaum realis mendasarkan pemikirannya kepada suatu
konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut aliran realis hukum apa
yang di buat oleh hakim melalui putusannnya, dan hakim lebih layak disebut
membuat hukum daripada menemukan hukum.
Seorang hakim melakukan pilihan,prinsip mana yang akan diutamakan
dan pihak mana yang akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului
ditemukan dan di garapnya peraturan hukum yang menjadi landasannya.
Aliran realis ini selalu menekankan pada hakikat manusiawi dalam
pelaksanaan hukum, sehingga para penganutnya menekankan agar pendidikan hukum
senantiasa mengupayakan mahasiswanya untuk mendatangi dan mengenai proses
peradilan.
Otak gerakan realis dari Amerika Serikat adalah Karl Llwellyn
(1893-1962) Jerome Frank (1889-1957), dan hakim Agung Amerika Serikat Olive
Wendell Holmes (1841-1935), kemudian dari Swedia dipelopori oleh Hagerstron
(1868-1939),dan dari Denmark tokoh nya adalah Alf Ross.
Aliran realis di Amerika Serikat,pada prinsipnya diwujudkan
berdasarkan penerimaan secara umum terhadap “realism filsafat”, yang
mempengaruhi para hakim, sehingga berfikiran “realisme”.
Aliran ini sesungguhnya menganggap hukum adalah semua yang dihasilkan
(diputuskan) oleh pengadilan sebagai suatu yang realitas atau kenyataan (das
sein) dalam masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum
melalui putusan hakim,berasal dari kalangan praktisi (hakim) dan pengajar ilmu
hukum di perguruan tinggi.
Karl Llwellyn menggariskan pokok-pokok pendekatan aliran realis di
Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
a.
Hendaknya
konsepsi hukum menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan
oleh pengadilan.
b.
Hukum
adalah untuk mencapai tujuan social.
c.
Masyarakat
berubah lebih cepat dari hukum, oleh karena itu selalu ada kebutuhan untuk
menyelidiki bagaimana hukum menghadapi problem social yang ada.
d.
Guna
keperluan studi untuk sementara harus ada pemisahan antara is dan ought.
e.
Tidak
mempercayai anggapan bahwa peraturan dan konsep hukum sudah mencakupi untuk
menunjukan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan
masalah yang utama dalam pendekatan mereka terhadap hukum.
f.
Sehubungan
dengan butir di atas, mereka yang menolak teori trdasonal bahwa peraturan hukum
merupakan factor utama dalam mengambil keputusan.
g.
Mempelajari
hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga lebih nyata.
Peraturan hukum meliputi situasi yang banyak dan berbeda beda. Oleh karena itu
ia bersifat umum, tidak konkret, dan tidak nyata.
h.
Hendaknya
hukum dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya untuk menemukan efek-efek
tersebut.
Di
lain pihak, Jerome Frank (seorang hakim Amerika Serikat) yang esensi ajarannya
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Memotivasi
hakim untuk melakukan reformasi terhadap hukum unruk kepentingan keadilan.
b.
Hukum
tidak mungkin dipisahkan dari putusan pengadilan.
c.
Hukum
tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan yang tetap.
d.
Putusan
hakim diturunkan secara otomatis dari aturan hukum yang tetap.
e.
Putusan
pengadilan bergantung pada berbagai factor,seperti kaedah hukum dan factor
nonhukum (politik,ekonomi,dan moral).
Kemudian Holmes mengemukakan bahwa melihat kelakuan actual para
hakim (patterns of behaviour), menjadi jelas bahwa hukum adalah apa yang
dilakukan oleh para hakim di pengadilan. The Patterns of behavior,para hakim
menentukan apa itu hukum. Kedah hukum hanya memberikan bimbingan. Moral hidup
pribadi dan kepentingan social ikut menentukan putusan.
Esensi dari ajaran realism hukum dari Holmes dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a.
Perkembangan
ilmu hukum itu terletak pada pengujian fakta-fakta
b.
Kehidupan
hukum pada dasarnya bukan logika,melainkan pengalaman (the life of the law has
been not logic, but experience).
c.
Yang
dianggap sebagai hukum adalah ramalan,dan tdak ada yang lebih penting dari itu.
Selanjutnya,aliran realis di Skandinavia berpandangan bahwa hukum
adalah putusan hakim yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan atau psikologi yang
tidak lebih dari reaksi otak. Aliran ini dipelopori Hagerstrom, Villhelm
Lundstedt, Olivecrona, dan Alf Ross.
Hegerstrom menyatakan bahwa tidak ada apa yang disebut “kebaikan”
dan “kejelekan” di dunia. Ia mengingkari adanya nilai-nilai yang objektif.
Semua pesoalan tentang keadilan, tujuan hukum, adalah soal penilaian pribadi
dan tidak dapat dijadikan objek pengamatan ilmiah.
Vilhelm Lundstedt menyatakan hak dan kewajiban merupaakn sesuatu
yang subjektif,yang menunjukan kepada kedudukan seseorang sebagai konsekuensi
dari bekerjanya hukum. Hukum terdiri atas peraturan dengan penerapan dari
ketentuan yang terorganisasi sebagai suatu fakta dari kenyataan social.
Olivecrona mengatakan bahwa dalam mempelajari hukum yang utama
adalah mengumpulkan fakta-fakta yang diliputi oleh peraturan hukum. Kemudian
Alf Ross seorang ahli hukum Denmark, menyatakan bahwa hukum adalah pengetahuan
yang berada dalam kaitan korespindensinya dengan fakta-fakta sosial, yang
bekerja dan dirasakan oleh para hakim mempunyai daya ikat social,dan oleh
karena itu dipatuhi.
Antara aliran realis di Amerika Serikat degan aliran realisdi
Skandinavia terdaat perbedaan, di samping itu juga ada persamaannnya.
Perbedaannya terletak pada putusan dan rilaku hakim. Aliran realis di Amerika
Serikat memndang hukum terletak pada apa yang diputuslkan (dibuat) oleh hakim,
sedangkan pada aliran realis di Skandinavia memandang hukum itu dari aspek
prilaku yang mempengaruhi keputusannya.
Adapun
persamannya adalah sebagai berikut :
a.
Sama-sama menolak keberadaan Das Sollen dan
Das Sein dalam studi hukum.
b.
Sama-sama
menolak spekulasi metafisik dalam penyelidikan berbagai kenyataan dari system
hukum.